Sugeng Rawuh Poro Sederek Sedoyo

Blog meniko dipun damel kangge nampung sedoyo uneg-uneg kito ugi media kagem diskusi kito sedoyo babakan menopokemawon seputar kearifan lokal..

Sabtu, Januari 03, 2009

Titik Balik Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti
Ciganjur Centre, Jakarta

Lewat karya monumentalnya, The Turning Point, Fritjof Capra menggelarkan prediksi futuristik, bahwa saat ini kita tengah mengalami titik balik peradaban. Ini terlihat dari menurunnya kemampuan modernitas dalam mencapai tujuan kemanusiaan. Satu gerak yang terbarengi oleh dahaga spiritual, dan kesadaran ekologis atas tata hidup kita, yang menjadi penyempurna kemanusiaan tersebut.

Menariknya, Capra memijakkan tesanya pada filsafat Tao. Seperti kita tahu, kearifan Timur ini menahbiskan esensi kehidupan pada gerak keseimbangan antara yin dan yang. Yin mengacu pada eco-action; suatu tindakan yang dilambari oleh kesadaran eko-sistem, dengan mode of thought intuitif, spiritual, integratif, dan dingin. Sementara yang, merujuk pada ego-action; tindakan yang termotivasi oleh agresivitas ego, rasional, panas, dan berhasrat pada kemajuan. Di sini, kebaikan bukanlah rasionalitas, dan keburukan adalah intuisi, atau sebaliknya. Kebaikan tidak mengacu pada yin, atau yang an sich, tetapi dalam Tao: gerak keseimbangan yin-yang; rasional-intuisi, kemajuan dan kesadaran eko-sistem.

Urgensi eco-action di samping ego-action terletak pada kritik atas gerak eksploitatif yang memosisikan alam-kehidupan (life-world) sebagai perempuan cantik binal, sehingga perlu ditakhlukkan dan dieksploitasi. Sikap ini terjadi pada peradaban tekno-ekonomis kita, yang lahir dari paradigma Descartes-Newtonian. Dalam paradigma ini, alam tak ubahnya sebuah mesin, di mana kompleksitas sistemnya bisa direduksi melalui penemuan hukum “balok-balok dasar” yang menopang struktur keseluruhan. Di sini, yang benar adalah yang real, materi. Sementara yang tak tampak, intuisi, rasa, dan spiritualitas, telah terlikuidasi dari standar kebenaran empiris.

Pada level makro, gerak yin-yang ini menahbiskan lingkaran tahap peradaban dialektis; ketika yin mencapai puncak, ia menurun untuk memberikan jalan bagi naiknya yang, demikian seterusnya. Ini terjadi pada abad ke-6 SM, di mana peradaban spiritual (yin) menjelma apa yang oleh Prof. Jan Romein sebut sebagai “pola umum peradaban dunia” (algemeen Menselijk Patroon). Pola ini mengacu pada Lao Tse di Cina, Buddha di India, Zarathusta di Iran, dan para Nabi Tauhid di Palestina. Dalam peradaban ini, manusia menempatkan dirinya dalam gerak organik kosmos, di mana tak ada pemisahan antara alam, manusia dan Tuhan. Semua gerak hidup dikembalikan pada hukum keseimbangan alam, dengan pengutamaan aspek spiritual dan komunalisme sebagai standar kebenaran.

Pola ini menurun dengan naiknya rasionalisme Yunani yang menempatkan logos sebagai inti kehidupan. Manusia tak lagi “dikepung” oleh keajaiban alam, tetapi berusaha mengurai dan merumuskannya dalam hukum-hukum rasional yang bisa ditangkap secara inderawi. Pada Abad Pencerahan, hal ini yang melahirkan sains, di mana alam tertahbis sebagai arloji; ia memiliki hukum mekanik non-adi kodrati, sehingga ketika hukum itu tertemu, maka alampun bisa dimanfaatkan, bahkan dicipta ulang. Kebudayaan yang naik, menjadi pola umum peradaban, di mana modernitas menjanjikan kemajuan (idea of progress), kepastian akal, kebebasan individu, dan maha kuasa manusia atas alam.

Hanya saja, tepat di puncak inilah, yang mengalami kemerosotan, dibarengi oleh gerak yin yang mulai menaik. Ini terjadi akibat patologi modernitas; akal meniadakan jiwa, pertumbuhan ekonomi tak meneteskan trickle down effect, digdaya sains melahirkan perang nuklir, biaya perawatan hewan peliharaan lebih mahal dari biaya makan rakyat pinggiran, dsb. Modernitas yang pada awalnya menjadi alternatif bagi abad gelap Gereja, tak mampu lagi mengangkat kemanusiaan, karena telah melenceng dari prinsip dasar kebudayaan yin, yang menjadi pijak geraknya. Kondisi patologis inilah yang sejak abad ke-20 menggerakkan energi yin, seperti terlihat pada kesadaran ekologis atas global warming, dahaga spiritual sufi berdasi, hingga cita Obama untuk menegakkan otoritas moral AS, sebagai ganti adi daya militer.

Malaise Budaya

Naiknya yin, dan merosotnya yang memang niscaya, karena konsepsi hidup mengacu pada gerak keseimbangan antagonistik. Di sebut keseimbangan karena yin merupa sisi filosofis dari cita kebudayaan, membutuhkan materialisasi berupa sistem rasional (yang), sehingga ia bisa efektif dalam ruang publik. Di sebut antagonistik, karena materialitas sistem yang baku, institusional, dan agresif, bertentangan dengan prinsip filosofis, spiritualitas, dan etika yang cair, esoteris, dan oleh karenanya tidak bisa dibonsai dalam kotak tertentu. Tetapi demikianlah. Karena gerak kebudayaan, tak lain gerak death and rebirth, maka filsafat dan sistem; yin dan yang, merupakan kesatuan yang saling membunuh, untuk menghidupkan kembali.

Sayangnya, di titik inilah persoalan muncul, sehingga titik balik kebudayaan itu menemu hambat. Ini terjadi pada apa yang Simmel sebut sebagai reifikasi kebudayaan. Sebuah proses budaya yang mengacu pada pem-benda-an cita esoteris manusia, sehingga cita tersebut kini dipahami sebagai materi. Akhirnya, “benda budaya” itupun terpisah dari cita filosofis, dan bahkan memberangus gerak kemanusiaan itu sendiri.

Hal ini terjadi semisal pada materialitas demokrasi yang terjebak dalam formalisme politik. Pada awalnya, demokrasi lahir dari kodrat-filosofis tentang “hak untuk memiliki hak”, agar kebutuhan politik manusia terpenuhi. Materialitas monarkhi dan feodalisme telah memberangus hak ini, karena ia tidak mendudukkan manusia, setara di ruang publik. Pemikiran tentang kontrak sosialpun lahir, sebagai mekanisme daulat rakyat, yang terderivasi dari penghormatan atas hukum kodrat bernama hak asasi manusia, melampaui kerajaan, melampaui agama. Kini, cita itu terbonsai dalam lembaga parlemen, dan DPR akhirnya berjalan dengan logika-kepentingan sendiri, terlepas, dan bahkan memberangus cita perwakilanisme yang menjadi esensi demokrasi. Pada titik inilah, malaise atau kebangkrutan kebudayaan (a general kulturnot) terjadi, karena karya budaya tidak lagi bisa diperbarui demi penghargaan kembali, cita filosofis kemanusiaan.

Hal sama terjadi pada kebenaran, etika, dan kodrat filosofis yang merupakan aspek yin. Oleh modernitas, segenap cita esoteris ini telah termanipulasi di dalam, dan melalui citra. Inilah simulakra itu, di mana segenap nilai kebenaran tidak lagi tertancap dalam konteks alam-kehidupan, tetapi terekayasa dalam teknologi citra. Hal ini bermasalah, sebab citra yang pada awalnya menjadi gambar dunia (world picture) -tempat manusia membangun pandangan dunia (world view)- telah berbalik sehingga melahirkan ontologi citra. Dalam ontologi ini, bukan pandangan dunia yang membentuk citra, tetapi citra itu telah menjadi world view tersendiri, dan akhirnya terlepas, sekaligus memberangus cita kebenaran yang ada di bumi realitas. Ini terjadi pada maraknya politisasi moral dalam iklan pemilu, yang secara artifisial memanipulasi nilai demi pragmatisme partai.

Demikianlah. Tetapi keseimbangan yin-yang memang niscaya. Bukan sebatas dogmatisme harus direformasi, totalitarianisme harus terdemokrasi. Melampaui itu, keseimbangan antara keduanya yang akan terjadi, dengan standar pemanusiaan manusia sebagai rem kritisisme. Dalam epos wayang, dunia akan bencana (Gara-gara), ketika masing elemen dalam kosmos menyimpang dari fungsinya. Pada saat itulah, Semar datang untuk mengembalikan keseimbangan bumi, dengan menempatkan kembali posisi masing unsur ke dalam fungsi kosmik. Semar adalah representasi dari akal-budi, yang memijak kembali segenap karya manusia pada kedalaman filosofis. Sebuah kedalaman yang tergerak dalam hukum keseimbangan hidup, yang memiliki metabolisme untuk menyembuhkan hidup itu sendiri.