Involusi Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti Kebudayaan
Ciganjur Centre, Jakarta
Dalam sejarah kita, kebudayaan selalu tergelut di antara tiga hal; penanganan negara, ilmu sosial, dan krisis kesenian. Ia menjelmakan dilema yang muncul dalam ketegangan antara evolusi (pembaruan) dan involusi (kemandegan). Sering ketiga hal ini saling menegasi, sehingga kebudayaan menjauhi citanya, yang merujuk pengejaran totalitas kesempurnaan (a pursuit of total perfection).
Secara praksis, terdapat perbedaan dari ketiga unsur di atas dalam mendekati kebudayaan. Bagi negara, kebudayaan terlebih merupa “warisan budaya”, yang sayangnya terposisi demi kepentingan praktis. Kebudayaan menjelma latent pattern maintenance; sebuah pola pemeliharaan (nilai) laten, agar program politik reasonable (karena itu tidak kontradiktif), serta acceptable; oleh karenanya tidak menimbulkan resistensi apalagi oposisi.
Dari sini lahirlah pola kebudayaan yang ganjil: kebutuhan akan negara-kesatuan, mengharuskan kesatuan kebudayaan. Lahirlah agenda kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa, yang merupakan derivasi politis atas program politik; nation building dan integrasi politik. Risiko nyata: ketika kebijakan politik tak mempermasalahkan, maka kebijakan budaya berjalan lancar. Namun, ketika terdapat perlawanan atas kebijakan negara, maka pemerintah menggunakan argumentasi budaya untuk mematahkannya, semisal tradisi kritik, tak sesuai dengan jati diri bangsa. Inilah yang terjadi, sehingga kebudayaan politik (political culture) terlahir dari kebutuhan negara untuk mengatur politik kebudayaan (cultural politics).
Sementara itu, bagi ilmuwan sosial, kebudayaan terlebih merupa kata benda; apa itu kebudayaan, apa unsurnya, bagaimana perubahan secara de facto. Di sini ilmu sosial kemudian membagi tiga macam kebudayaan; ide, pola laku, dan benda. Ide mengacu pada kebudayaan sebagai sumber bagi pandangan dunia (Weltanschauung) yang menjadi pedoman pemaknaan (system of meaning) dan pedoman penilaian (value system). Sistem kognitif ini memungkinkan manusia untuk merumuskan apa itu realitas (ontologi), serta bagaimana realitas diatur dan bermakna (kosmologi). Jika kebudayaan telah menjelma sistem makna, maka ia mampu membentuk perilaku bernilai (Lebensanschauung) yang akhirnya menentukan sistem sosial, sehingga gerak hidup dan produk peradaban, terarah berdasar pijak-tuju kebudayaan.
Bagi kalangan ini, persoalan utama merujuk pada pembaruan kebudayaan. Ini yang kemudian menimbulkan dilema, karena kebudayaan, terlebih merupa paradigma kebudayaan (cultural paradigm). Ia tergelut dalam dualitas subjek, baik sebagai pasien maupun agen kebudayaan. Sebagai pasien, kebudayaan terwarisi, sehingga pasien melihat pembaruan sebagai ancaman. Risikonya, seorang pasien harus berani menyadari akan krisis kebudayaannya, sehingga ia mampu menjelma agen yang melakukan kritik kebudayaan. Inilah yang meniscayakan kesesuaian antara pembaruan paradigma, dengan penerimaan struktur sosial, serta landas material kebudayaan. Sebuah pembaruan cara pikir (orientasi) harus mampu mengelupas patologi nilai (dis-orientasi), sehingga dari sana lahir kesadaran melakukan re-orientasi. Jika pembaruan pemikiran berhasil membumikan penerimaan organ sosial, maka transisi kebudayaan berhasil memuluskan evolusi kebudayaan. Jika sebaliknya, maka involusi yang terjadi. Yakni gerak semu formalisme budaya, minus transformasi kualitatif.
Hal beda terjadi pada seniman yang memosisi kebudayaan sebagai kata kerja, bahkan pekerjaan itu sendiri. Kesenian mendaulat kebudayaan tidak sebagai warisan (Gabe), tetapi tugas (Aufgabe). Ini terjadi karena gelisah seniman yang merasa krisis kebudayaan, sehingga yang tergerak adalah daya cipta. Seniman butuh untuk merumuskan kembali ide, menyesuaikan kembali perilaku, dan mengolah kembali benda budaya.
Hal ini terlaku tak semata berlandas tanggungjawab moral-sosial, tetapi dorongan spiritualitas esoterik tak berumus. Ya, kesenian menjelma iman sekular, satu ruang sakral tempat seniman menjelmakan pengalaman eksistensial, serta bersit penyingkapan Keindahan transendental; sebuah visio beatifica, nan “pelik menarik ingin/serupa dara di balik tirai”, pinjam syair Amir Hamzah. Dari sini option seni adalah opus, bukan operasi. Bagi operasi, kebudayaan ditangani dan dikuasai, selayak policy negara. Bagi opus, kebudayaan terkreasi demi penciptaan kembali (rekreasi); manusia menyempurna diri dalam karya, dan menyempurnakan karya dalam penyempurnaan diri (I. Kleden, 1988).
Problem utama
Hanya sayang, bahkan dari ketiga ruang tersebut, muncul problem kebudayaan yang hingga kini tak terselesaikan. Problem ini yang pada akhirnya menambat kebudayaan dalam involusi, di mana kebudayaan kita telah kehilangan daya rem moral, dan hanya menyisa hias lahiriah (paraphernalia) yang sering terpolitisasi.
Pada aras struktural, kebudayaan masih ditangani oleh negara. Ini tragis, sebab ia membetot kebudayaan hanya sebagai sub-sektor, selayak ekonomi, pendidikan, dan seni. Dalam situasi ini, kebudayaan telah kehilangan daya kritis yang berperan sebagai penyatuan keterpisahan sub-sektor, kepada supra-sektor nilai yang merujuk pada kehidupan manusiawi. Penanganan negara atas kebudayaan adalah politis, karena kebudayaan yang merupa tujuan normatif, telah terganti oleh tujuan politik yang lahir dari hasrat menguasai. Risiko nyata. Kebudayaan terlembaga (birokratisasi), terjual dalam komoditas pariwisata, serta terpolitisasi, menjelma kuasa simbolik nan represif.
Hal ini terjadi karena ilmu sosial yang “menangani” kebudayaan, masih bersifat non-kritis. Ia tergulat dalam dominasi ilmu alam dan hermeneutis. Pada yang pertama, kebudayaan tertangkap secara teknis. Ia menjelmakan kognitif komponensial, di mana kebudayaan bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan mesin besar, yakni pembangunan ekonomi. Sementara yang kedua merujuk pada empati interpretif, yang hendak memaknai pemaknaan (interpretation of interpretation) manusia atas budaya. Ini baik sebagai metode, tetapi belum emansipatif karena cenderung hanya ingin memahami. Penggunaan ilmu sosial kritis masih jarang digunakan, padahal perspektif inilah yang mampu menggerakkan kebudayaan dalam domain pembebasan (artes liberales), sehingga evolusi kebudayaan mampu tergerak.
Hal sama terjadi pada kesenian, yang bahkan mencipta estetisasi kebudayaan. Pada langgam ini, pergulatan kebudayaan hanya tergelut dalam kesenian. Ini terjadi sejak pertentangan kiblat budaya; progresifitas Barat atau esoterisme Timur, seni untuk seni atau seni untuk rakyat, sastra kontekstual atau sastra universal. Satu hal yang telah melahirkan pro-estetik total era Orde Baru, sebagai pembebasan seni dari beban ideologi; kata non-konseptual Sutardji, drama non-verbal Rendra, cerpen non-plot Putu Wijaya, puisi non-pragmatis Goenawan Mohammad. Gerak ini pada titik ekstrim bahkan melahirkan happy-go-lucky-attitude; pemisahan seni dari krisis kebudayaan. Ini terjadi karena indah seni hanya untuk dirinya sendiri, bukan cipta keindahan pada aras kehidupan, yang tentu akan bersinggungan dengan carut-buruk libido politik.