Refilosofi Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti Kebudayaan
Ciganjur Centre, Jakarta
Seperti kita tahu, filsafat menempatkan kebudayaan pada aras metafisis, yang merujuk pada penempatan nilai sebagai aspek formal intrinsik. Ia tidak bicara bagaimana kebudayaan membentuk way of life pada partikular masyarakat, atau pembentukan budaya oleh kuasa pengetahuan. Filsafat kebudayaan lebih berhasrat untuk menggali kebudayaan secara ontologis, sehingga menemu inti, jiwa, dan hakikat kebudayaan. Dari sini pendekatan filosofis berkepentingan untuk mengarahkan kembali praktik kebudayaan, kepada hakikat tersebut yang mengarah pada totalitas kehidupan manusiawi.
Perspektif ini bertolak dari alas pikir yang menempatkan alam, sebagai ruang pemanusiaan manusia. Man humanizes himself in humanizing the world around him. Inilah inti kebudayaan itu. Dalam hal ini alam menjelma causa materialis kebudayaan, dan cipta budi menjelma causa formalis, sehingga membentuk kesatuan antara kebudayaan subjektif (budi manusia) dengan roh objektif: kebudayaan menyejarah. Hal ini dipertegas dalam gerak manusia, yang hanya dapat merealisasikan diri melalui eksteriorisasi: pelaksanaan daya budi sehingga melahirkan karya budaya.
Dari sini aspek formal kebudayaan terletak dalam karya budi yang mentransformasikan fakta, situasi dan peristiwa, menjadi nilai bagi manusia. Penilaian ini tertahbis dalam segenap kebaikan seperti spiritualitas, keadilan, demokrasi, supremasi hukum, kesejahteraan, dsb. Martabat kebudayaan ditentukan oleh nilainya, karena tanpa nilai, berbagai praktik hidup akan menyeleweng dari aras dan arah kehidupan itu sendiri. Disinilah kebudayaan termaktub sebagai penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani, selayak rumusan Dewan Perancang Negara (1961) kita, yang merujuk pada penyempurnaan rasa-karsa- karya (JWM. Bakker, 1984).
Dari idealitas nilai ini, maka filsafat kebudayaan kemudian melakukan kritik atas segenap unsur budaya, yakni ilmu pengetahuan, teknologi, praktik sosial, ekonomi, kesenian, dan politik. Hal ini berangkat dari pemilahan antara kebudayaan subjektif yang mengacu pada aspek batin (stricto sensu) dengan kebudayaan objektif (sivilisasi). Yang pertama merujuk pada culture; aspek imanen manusia yang terejawantah dalam ranah civilization, sebagai hasil objektifikasi nilai tersebut. Pada titik ini, pendekatan filsafat lebih mengedepankan aspek batin, untuk mengarah dan mengritik penyimpangan yang terjadi pada objektifikasi kebudayaan. Satu hal yang tidak bersifat dikotomis, tetapi korelatif (saling menyempurna), karena batin membutuhkan pemeradaban, dan peradaban membutuhkan refleksi diri untuk tetap konsisten dengan nilai asasi kebudayaan.
Orientasi Politik
Dalam perkembangannya, aras filosofis ini tergerus oleh orientasi politik dalam penempatan kebudayaan. Ini yang membuat kebudayaan kehilangan cengkeraman moral, sehingga ia menjadi alat bagi praktik kekuasaan. Hal ini terjadi dalam dua hal. Pertama, kepentingan fungsional. Kepentingan ini merupakan pergeseran dari membincang apa itu kebudayaan, kepada bagaimana memanfaatkan kebudayaan. Orang sering menyebutnya sebagai strategi kebudayaan. Sayangnya, strategi ini tidak digerakkan melalui “kuasa dalam” kebudayaan, tetapi sering oleh rekayasa sosial qua negara. Pada titik ini strategi bukan gerak masyarakat dalam transformasi diri, melainkan policy yang lahir dari otoritas negara, tentu dengan segenap kepentingan politiknya.
Di sini kebudayaan kemudian menjadi sub-sistem dari sistem politik secara keseluruhan. Ia menjelma penjaga nilai (latency) yang berfungsi untuk merekatkan integrasi sosial (integration). Integrasi ini dibutuhkan agar proses adaptasi ekonomis (adaptive) berjalan lancar sehingga gerak pencapaian tujuan (goal attainment) terselamatkan.
Di negeri kita, proses ini terjadi terkhusus era developmentalisme. Oleh Orde Baru, kebudayaan menjadi self-organizing melalui penciptaan batas dan stabilisasi struktur internal. Hal ini dilakukan melalui pendefinisian pembangunan yang mengacu pada pemercepatan ekonomi tingkat tinggi, dengan batas: anti-ideologi dan anti-konflik. Proses ini meniscayakan tidak adanya orientasi politik selain pembangunan itu sendiri, sehingga ideologi menjadi satu hal yang (dianggap) anti-ekonomi, karena ia cenderung mencipta pergelutan politik; satu hal yang mengancam stabilitas sosial yang dibutuhkan demi konsentrasi ekonomi. Dari sini kebudayaan menjelma kebudayaan negara, melalui gerak negara-sentrisme ilmu sosial. Pada level teori budaya, evolusionisme dan fungsionalisme dipakai. Menurut perspektif ini, kebudayaan merupa gerak kemajuan linear dari “masyarakat tertinggal” ke masyarakat “tinggal landas”. Hal sama terjadi pada fungsionalisme yang meniscayakan kemanfaatan politik melalui stabilisasi sistem budaya. Ini yang melahirkan teori Mentalitet itu, di mana negara memilah manakah mental yang kondusif atau menghambat pembangunan.
Hal sama terjadi pada self-referential. Pancasila yang merupakan hasil dari olah budi (Abhyudaya), dan oleh karenanya simbol konsensus budaya bangsa, telah direbut melalui monolitisisme penafsiran negara. Pelaksanaan Pancasila yang “murni dan konsekuen” menjadi referensi diri dari negara untuk menggebuk penafsiran dan gerakan masyarakat yang menyimpang dari tafsir resmi tersebut. Satu hal yang dipolitisir menjadi azas tunggal Pancasila yang membrangus azas Islam, Marhenisme dan komunisme di pluralitas partai kita. Dengan azas ini, hanya boleh ada satu ideologi di partai, yakni “ideologi kekaryaan” yang merujuk pada orientasi program pembangunan.
Pada level struktural, hal ini kemudian menahbiskan kesadaran palsu berupa penyatuan antara negara dan kebudayaan. Memang, UUD 45 mengamanatkan tugas negara; mengembangkan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia, serta menjamin kebudayaan lokal dalam kesatuan nasional. Keduanya menjadi tugas suci, di mana negara menjelma agen pengembang, atas kebudayaan yang dilihat sebagai produk. Saat ini, hubungan tersebut seakan hanya sebatas kulit. Tetapi tidak pada era sebelumnya. Negara bahkan mendaulat dirinya, dalam perspektif kebudayaan. Atas nama “jati diri bangsa”, Soekarno menutup kebudayaan kita dari hubungan peradaban, terkhusus dengan Barat. Atas nama “kepribadian nasional”, Soeharto menyeragamkan pluralitas budaya lokal demi kesatuan nasional, yang sebenarnya merujuk pada kepentingan stabilitas politik.
Pada dua rezim itu, kebudayaan benar-benar terpolitisasi. Lihatlah betapa pada Kongres Kebudayaan IV (1954), LEKRA mendaulat kebudayaan harus bercorak realisme sosialis; satu sayap kesenian dari tubuh ekonomi politik Manipol-Usdek. Di sini terjadi perselingkuhan antara Soekarno dengan komunisme, sehingga kubu realis sah melakukan pembrangusan atas gerbong Manikebu. Kebudayaan tiba-tiba menjelma ideologi. Oleh negara, ia dijadikan benteng pertahanan nasional dalam Perang Dingin vis a vis AS. Oleh PKI, ia dijadikan azas partai sehingga kebudayaan termanfaatkan untuk melampiaskan dendam kesumat atas nama hukum besi pertentangan kelas.
Hal beda namun sama pada era Soeharto. Kongres Kebudayaan 1991 menjadi penahbisan suatu birokratisasi kebudayaan. Di sini kebudayaan bahkan anti-ideologi, karena ia harus bermanfaat bagi program pembangunan. Ia kemudian tereduksi dalam political gimmick Departemen P&K, dimana kebudayaan dipangkas hanya pada kesenian pariwisata dan pendidikan formal. Kebudayaan pada tahap ini telah dipisahkan dari kehidupan, dan oleh karenanya dipangkas dari fungsi kritis atas penyimpangan negara. Penyatuan, melalui penanganan kebudayaan oleh negara adalah contradictio in terminis, karena kebudayaan merupa potensi otentik manusia, sementara negara merupa otoritas politik. Yang pertama lebih mengacu pada sisi esoteris kemanusiaan yang hanya bisa terengkuh melalui kultur (Lebenswelt), sementara yang kedua merujuk pada “pembatuan cita sosial” dalam institusi stabil yang berorientasi pada bagaimana mendapatkan, memaksakan, dan melanggengkan kekuasaan.
Kedua, politik representasional. Ini terjadi ketika studi budaya kontemporer (cultural studies), memasukkan kebudayaan pada ranah bahasa. Di sini pergeseran terjadi, dari domain kebudayaan sebagai nilai, kepada pembongkaran diskursif atas pembentukan nilai. Persoalan yang mengemuka bukanlah budaya Jawa adalah mistis misalnya, tetapi siapa dan untuk apa mistisisme dibentuk sebagai esensi budaya Jawa. Hal ini tergerak karena pemikiran pasca-modern tidak lagi merujuk pada kebenaran akal (logos) tetapi kepada diferensialitas sistem tanda (linguistic turn). Risikonya, tidak ada lagi pusat kebenaran karena ketika Jawa identik dengan mistik, maka terma mistik itu sendiri tidak memiliki makna stabil.
Dari sini kebudayaan tergulat dalam representasi. Ia (hanya) bentukan diskursif dari rezim pengetahuan. Inilah yang kemudian menempatkan kebudayaan dalam domain kekuasaan, di mana penguasa wacana (doxa) berusaha menegakkan dominasi kebenarannya. Kebudayaan menjelma kekerasan simbolik (symbolic violence), karena doxa telah menundukkan kognisi masyarakat, untuk patuh di tengah ketidaksetujuan (misrecognized). Hal ini terjadi terutama pada para pengkaji budaya, yang melihat kebudayaan sebagai reproduksi diskursif ilmu sosial. Satu hal yang kemudian terbalut oleh kritisisme politis, karena kedatangan teori-teori budaya (antropologi) sering hadir bersama dengan kolonialisme, developmentalisme, dan segenap interes negara.
Memang satu titik, hal ini bermanfaat untuk menggerakkan kritik, karena pada level kognitif, kebudayaan merupa karya sejarah yang sarat dengan kekuasaan. Apalagi di zaman simulakra, di mana nilai sering terpolitisasi menjelma “realitas kedua” nan manipulatif. Namun, dengan menempatkan nilai pada pembentukan diskursif, tidak berarti meniadakan nilai itu sendiri. Justru disinilah letak kebudayaan. Yakni dalam gerak dialektik, di mana kebudayaan melakukan kritik atas penyimpangan kebudayaan. Arah filosofis ini musti tetap tergerak, karena aras kebudayaan tidak murni dalam rasionalisme: logika deduktif yang berhasrat menganalisa, dan menguasai realitas. Ia lebih berada dalam kontemplasi minus kepentingan utilitarian, yang oleh Josef Pieper tertahbis sebagai “persepsi sunyi tentang realitas”, dengan membiarkan Sang-Ada (Being) menyingkap kebenarannya. Kerja ini yang tergulat dalam opus; gerak penciptaan kembali (re-kreasi) realitas yang telah mengalami krisis. Bukan operasi yang mendaulat kebudayaan sebagai alat kekuasaan.
Pada titik ini, hal urgen yang musti kita lakukan adalah, pemisahan kebudayaan dari kekuasaan. Ia merujuk pada kebudayaan sebagai aspek ideasional, bukan developmental. Dalam kaitan ini, kebudayaan bukan soal manusia mempertahankan hidupnya, tetapi soal manusia mempertahankan kemanusiaannya. Arah pertahanan hidup hanya menjadikan kebudayaan sebagai alat beradaptasi dengan lingkungan. Resiko nyata, kebudayaan diletakkan dalam evolusionisme, dimana (hanya) budaya beradab yang selamat seleksi alam (survival of the fittest) dan oleh karenanya sesuai (atau tidak) dengan spirit pembangunan, serta struktural-fungsional yang memaksa kebudayaan memperkuat struktur politik, demi pemenuhan psiko-ekonomi.
Tentu hal ini merupa determinisme politik atas kebudayaan. Satu hal yang beda, sebab kebudayaan terlebih merupakan usaha mengolah hidup dalam kuasa makna. Ini terjadi karena manusia bukan “binatang ekonomis”, tetapi animal symbolicum, selayak tandas Ernest Cassirer. Melalui simbol, manusia memasang makna untuk menyaring, mengontrol dan mencipta hidup, sesuai makna tersebut. Makna inilah ruang kebudayaan itu, yang secara otonom, mampu melampaui segenap tuntutan materialitas kehidupan.
Sayang, hal ini masih jauh dari harap. Bangunan negara-bangsa kita misalnya, terlandas secara political daripada cultural. Ini terjadi selayak politisasi atas terma Bhinneka Tunggal Ika, yang diputus dari akar spiritualnya demi legitimitas kekuasaan. Terma yang ditulis oleh Mphu Tantular dalam Kakawin Sutasoma ini sebenarnya merujuk pada kesatuan mistis antara Buddha dan Shiva. Meskipun keduanya memiliki entitas berbeda, tetapi tetap satu, karena tidak ada dualitas dalam Kebenaran: Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Oleh negara kita, pijak spiritual ini dipangkas; Soekarno mengarahkannya demi “persatean” (ideologi) nasional, Soeharto (hingga kini) menjadikannya sebagai represifitas kesatuan teritorial atas nama NKRI. Ini membuktikan bahwa kesadaran berbangsa kita telah lama terkangkangi oleh kepentingan kenegaraan. Padahal bangsa adalah rahim kebudayaan, sementara negara hadir bersama dengan kolonialisme. Kesilapan ini berdampak pada pemaknaan sarwa struktural atas politik, dimana berpolitik pastilah “menjadi negara”, bukan perjuangan sosial demi alokasi nilai, sehingga setiap “wadah kehidupan” terpenuhi, sebagaimana daulat alam menahbiskannya.