Redefinisi Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti Kebudayaan
Ciganjur Centre, Jakarta
Kebudayaan kini mengalami redefinisi. Ia tak lagi tertahbis sebagai sistem nilai absolut nan tunggal. Melampaui itu, ia kini termaknai sebagai contested representation and resistance. Dalam domain ini, kebudayaan telah menjelma ruang kontestasi bagi pelaku budaya untuk membebaskan, sekaligus memenangi pemaknaan kebenaran.
Pada awalnya, kebudayaan adalah nilai. Ia berada dalam ruang filosofis yang menempatkan pemanusiaan manusia sebagai cita utama. Man humanizes himself in humanizing the world around him. Ini terjadi karena posisi manusia yang merupa hewan simbolik (animal symbolicum). Melampaui makhluk lain, ia selalu menempatkan simbol sebagai penyaring maknawi setiap ia berhadapan dengan alam. Dari sini tindak manusia tidak melulu menanya pada apa sifat sesuatu, tetapi bagaimana sesuatu seharusnya bersifat.
Pada ranah antropologis, langgam ini kemudian terpilah menjadi tiga ruang; ide, perilaku, dan benda. Ide mengacu pada kebudayaan sebagai sumber bagi pandangan dunia (Weltanschauung) yang menjadi pedoman pemaknaan (system of meaning) dan penilaian (value system). Ini menjelmakan sistem kognitif yang memungkinkan manusia untuk merumuskan apa itu realitas (ontologi), serta bagaimana realitas diatur dan bermakna (kosmologi). Jika kebudayaan telah menjelma sistem makna, maka ia mampu membentuk perilaku bernilai (Lebensanschauung) yang akhirnya menentukan sistem sosial, sehingga gerak hidup dan produk peradaban, terarah berdasar pijak-tuju kebudayaan.
Hal inilah yang melahirkan otosentrisitas (autocentricity); kebudayaan memiliki otonomi relatif. Ia bukanlah bias dari basis material masyarakat, tetapi sebaliknya, menjelma supra-sektor (das Umgreifende) yang melingkupi, merekatkan, dan memberi makna bagi segenap sub-sektor kehidupan, sejak politik, ekonomi, pendidikan, agama, regulasi sosial, dan seni. Jika mengetahui merupa kodrat insani, maka sistem pendidikan yang memungkinkannya adalah kebudayaan. Jadi, ketika sistem tersebut menjauhkan anak didik dari kesadaran diri, maka krisis pendidikan secara sah menjadi bagian dari krisis kebudayaan. Demikian tandas perspektif ini.
Sistem adaptif
Segenap gelaran di atas menempatkan kebudayaan dalam aras ideasional. Pada titik ini, kebudayaan bersifat menentukan, sekaligus menjadi arah dan rem moral. Hanya dalam perjalanan, lahir arah lain yang lebih memosisikan kebudayaan sebagai sistem adaptif. Di sini kebudayaan kemudian menjelma conditioning bagi cara manusia beradaptasi dengan alam.
Lahirlah fungsionalisme itu, yang memosisikan kebudayaan sebagai pola pemeliharaan laten (latent pattern maintenance). Pada langgam ini, nilai tak lagi menjelma langit kognitif-normatif, tetapi sebuah penjagaan rekat sosial demi lancarnya capaian politik (goal attainment). Dari sini kebudayaan tinggal sebagai warisan budaya, di mana negara menjadikannya sebagai legitimasi politik agar sebuah kebijakan reasonable dan acceptable. Ini yang melahirkan determinisme politik atas kebudayaan, semisal proyek kebudayaan nasional Orde Baru yang lahir dari kepentingan integrasi politik.
Pada level internal, hal ini menahbiskan kebudayaan sebagai sistem. Selayak tubuh, ia kemudian terbentuk oleh jaringan sel yang saling merekat, berkembang, dan merekat kembali, menuju gerak dinamis-statis (homeo-stationer). Inilah yang melahirkan struktur, di mana kebudayaan menjelma sistem auto-poietic; sebuah struktur integratif yang menstabilkan diri melalui pembedaan diri dengan yang liyan. Kebutuhan struktur kemudian satu, yakni memangkas segenap unsur non-sistem yang mengganggu stabilitas sistem. Tentu gerak ini terbarengi oleh karakter utama logika sistem, yakni reduksionisme. Karena kebudayaan begitu kompleks, maka kebutuhan stabilitas meniscayakan reduksi kebudayaan. Satu hal yang telah digerakkan negara sejak Kongres Kebudayaan IV (1991) melalui birokratisasi yang membonsai kebudayaan dalam political gimmick departemen kebudayaan dan pariwisata. Watak otosentris kebudayaan terpangkas, karena ia menjadi jualan pariwisata yang involutif, dan anti-emansipasi.
Pada titik ini redefinisi tergerak melalui ketidakpercayaan terhadap logosentrisme. Ini yang mengamini sebuah pergeseran makna kebenaran dari pijak logos kepada bahasa. Sejak Pencerahan, kebenaran selalu identik dengan archia; kesatuan antara subjek, tuturan dan makna. Ia menjelmakan pusat kebenaran yang terbentuk oleh struktur internal kesadaran (soliloquy). Disinilah lahir subjek itu, di mana kebenaran pikiran meneguhkan kebenaran diri (auto-affection). Satu hal yang disebut Derrida sebagai “metafisika kehadiran”, karena dengan berfikir, wicara, dan menulis, satu manusia tiba saja menjadi pemilik sah kebenaran dengan meniadakan kebenaran lain.
Pada aras kebudayaan, hal ini yang melahirkan esensialisme; budaya satu lebih adiluhung dari budaya lain, rasionalisme tidak cocok dengan Timur, atau demokrasi terpimpin (Soekarno) lebih sesuai dengan jati diri bangsa. Berbagai penunggalan esensi ini tentu mencipta esensi lain yang berbeda, dengan penahbisan kebenaran hanya pada diri. Hal ini problematis, karena segenap konsepsi kebenaran tak bisa terlepas dari permainan tanda dan diferensi bahasa. Ini yang membuahkan differance, di mana makna tidak lagi merupa kebenaran yang mengada (Being), tetapi sebuah proses penafsiran yang terus menjadi (becoming), tanpa akhir.
Hal sama terjadi pada level struktural yang telah memosisikan kebudayaan sebagai sekrup politik. Paradigma sistem kemudian menjelmakan kesadaran palsu, di mana kebudayaan ditangani secara komponensial; ia selayak elemen teknis yang bisa dibongkar pasang sesuai kebutuhan mesin. UUD 45 memang mengamanatkan negara untuk menjamin sekaligus memajukan kebudayaan nasional. Tetapi hal ini bahkan mencipta contradictio in terminis, karena negara terbentuk dari otoritas represif, sementara kebudayaan lebih merupa pijak dan rem moral yang lahir dari hukum dasariah manusiawi. Watak filosofis dari kebudayaan yang merujuk pada pencarian kebenaran akhir (final causes) akan berbenturan dengan corak rasionalitas negara yang mengacu pada teknokrasi. Bagi yang pertama, kesungguhan menaati nilai yang menjelma tuju, sementara yang kedua, kepentingan menggunakan sesuatu (technical know how) yang menjadi ukuran.
Tentu fakta ini sudah terkritik, melalui penyingkapan politis, ilmu sosial dan kekuasaan. Segenap proyek logos semisal pembangunan yang memosisi kebudayaan sebagai mesin koersif, telah dibongkar oleh sifat kritis dari kebudayaan itu sendiri yang kini tergulat dalam ranah kekuasaan. Tak ada lagi kebenaran yang harus dipaksakan, karena sistem kini tak terlihat sebagai politik kesejahteraan, tetapi sebuah regulasi nilai demi pendisiplian tubuh (disciplinary). Kesatuan makna, politik, dan institusi sosial kini lebih terlihat sebagai praktik governmentality, di mana kekuasaan telah memanfaatkan kebenaran sebagai teknologi pengetahuan. Dari sini, pergulatan kebudayaan tak lagi mengikat tanya; bagaimana sesuatu seharusnya bersikap, tetapi bagaimana kekuasaan memanfaatkan kebenaran demi reproduksi diri? Satu hal yang menurunkan kebudayaan dari langit idealisme-filosofis, kepada kritik atas kekerasan simbolik demi tergeraknya katarsis politik.