Sugeng Rawuh Poro Sederek Sedoyo

Blog meniko dipun damel kangge nampung sedoyo uneg-uneg kito ugi media kagem diskusi kito sedoyo babakan menopokemawon seputar kearifan lokal..

Sabtu, Januari 03, 2009

Titik Balik Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti
Ciganjur Centre, Jakarta

Lewat karya monumentalnya, The Turning Point, Fritjof Capra menggelarkan prediksi futuristik, bahwa saat ini kita tengah mengalami titik balik peradaban. Ini terlihat dari menurunnya kemampuan modernitas dalam mencapai tujuan kemanusiaan. Satu gerak yang terbarengi oleh dahaga spiritual, dan kesadaran ekologis atas tata hidup kita, yang menjadi penyempurna kemanusiaan tersebut.

Menariknya, Capra memijakkan tesanya pada filsafat Tao. Seperti kita tahu, kearifan Timur ini menahbiskan esensi kehidupan pada gerak keseimbangan antara yin dan yang. Yin mengacu pada eco-action; suatu tindakan yang dilambari oleh kesadaran eko-sistem, dengan mode of thought intuitif, spiritual, integratif, dan dingin. Sementara yang, merujuk pada ego-action; tindakan yang termotivasi oleh agresivitas ego, rasional, panas, dan berhasrat pada kemajuan. Di sini, kebaikan bukanlah rasionalitas, dan keburukan adalah intuisi, atau sebaliknya. Kebaikan tidak mengacu pada yin, atau yang an sich, tetapi dalam Tao: gerak keseimbangan yin-yang; rasional-intuisi, kemajuan dan kesadaran eko-sistem.

Urgensi eco-action di samping ego-action terletak pada kritik atas gerak eksploitatif yang memosisikan alam-kehidupan (life-world) sebagai perempuan cantik binal, sehingga perlu ditakhlukkan dan dieksploitasi. Sikap ini terjadi pada peradaban tekno-ekonomis kita, yang lahir dari paradigma Descartes-Newtonian. Dalam paradigma ini, alam tak ubahnya sebuah mesin, di mana kompleksitas sistemnya bisa direduksi melalui penemuan hukum “balok-balok dasar” yang menopang struktur keseluruhan. Di sini, yang benar adalah yang real, materi. Sementara yang tak tampak, intuisi, rasa, dan spiritualitas, telah terlikuidasi dari standar kebenaran empiris.

Pada level makro, gerak yin-yang ini menahbiskan lingkaran tahap peradaban dialektis; ketika yin mencapai puncak, ia menurun untuk memberikan jalan bagi naiknya yang, demikian seterusnya. Ini terjadi pada abad ke-6 SM, di mana peradaban spiritual (yin) menjelma apa yang oleh Prof. Jan Romein sebut sebagai “pola umum peradaban dunia” (algemeen Menselijk Patroon). Pola ini mengacu pada Lao Tse di Cina, Buddha di India, Zarathusta di Iran, dan para Nabi Tauhid di Palestina. Dalam peradaban ini, manusia menempatkan dirinya dalam gerak organik kosmos, di mana tak ada pemisahan antara alam, manusia dan Tuhan. Semua gerak hidup dikembalikan pada hukum keseimbangan alam, dengan pengutamaan aspek spiritual dan komunalisme sebagai standar kebenaran.

Pola ini menurun dengan naiknya rasionalisme Yunani yang menempatkan logos sebagai inti kehidupan. Manusia tak lagi “dikepung” oleh keajaiban alam, tetapi berusaha mengurai dan merumuskannya dalam hukum-hukum rasional yang bisa ditangkap secara inderawi. Pada Abad Pencerahan, hal ini yang melahirkan sains, di mana alam tertahbis sebagai arloji; ia memiliki hukum mekanik non-adi kodrati, sehingga ketika hukum itu tertemu, maka alampun bisa dimanfaatkan, bahkan dicipta ulang. Kebudayaan yang naik, menjadi pola umum peradaban, di mana modernitas menjanjikan kemajuan (idea of progress), kepastian akal, kebebasan individu, dan maha kuasa manusia atas alam.

Hanya saja, tepat di puncak inilah, yang mengalami kemerosotan, dibarengi oleh gerak yin yang mulai menaik. Ini terjadi akibat patologi modernitas; akal meniadakan jiwa, pertumbuhan ekonomi tak meneteskan trickle down effect, digdaya sains melahirkan perang nuklir, biaya perawatan hewan peliharaan lebih mahal dari biaya makan rakyat pinggiran, dsb. Modernitas yang pada awalnya menjadi alternatif bagi abad gelap Gereja, tak mampu lagi mengangkat kemanusiaan, karena telah melenceng dari prinsip dasar kebudayaan yin, yang menjadi pijak geraknya. Kondisi patologis inilah yang sejak abad ke-20 menggerakkan energi yin, seperti terlihat pada kesadaran ekologis atas global warming, dahaga spiritual sufi berdasi, hingga cita Obama untuk menegakkan otoritas moral AS, sebagai ganti adi daya militer.

Malaise Budaya

Naiknya yin, dan merosotnya yang memang niscaya, karena konsepsi hidup mengacu pada gerak keseimbangan antagonistik. Di sebut keseimbangan karena yin merupa sisi filosofis dari cita kebudayaan, membutuhkan materialisasi berupa sistem rasional (yang), sehingga ia bisa efektif dalam ruang publik. Di sebut antagonistik, karena materialitas sistem yang baku, institusional, dan agresif, bertentangan dengan prinsip filosofis, spiritualitas, dan etika yang cair, esoteris, dan oleh karenanya tidak bisa dibonsai dalam kotak tertentu. Tetapi demikianlah. Karena gerak kebudayaan, tak lain gerak death and rebirth, maka filsafat dan sistem; yin dan yang, merupakan kesatuan yang saling membunuh, untuk menghidupkan kembali.

Sayangnya, di titik inilah persoalan muncul, sehingga titik balik kebudayaan itu menemu hambat. Ini terjadi pada apa yang Simmel sebut sebagai reifikasi kebudayaan. Sebuah proses budaya yang mengacu pada pem-benda-an cita esoteris manusia, sehingga cita tersebut kini dipahami sebagai materi. Akhirnya, “benda budaya” itupun terpisah dari cita filosofis, dan bahkan memberangus gerak kemanusiaan itu sendiri.

Hal ini terjadi semisal pada materialitas demokrasi yang terjebak dalam formalisme politik. Pada awalnya, demokrasi lahir dari kodrat-filosofis tentang “hak untuk memiliki hak”, agar kebutuhan politik manusia terpenuhi. Materialitas monarkhi dan feodalisme telah memberangus hak ini, karena ia tidak mendudukkan manusia, setara di ruang publik. Pemikiran tentang kontrak sosialpun lahir, sebagai mekanisme daulat rakyat, yang terderivasi dari penghormatan atas hukum kodrat bernama hak asasi manusia, melampaui kerajaan, melampaui agama. Kini, cita itu terbonsai dalam lembaga parlemen, dan DPR akhirnya berjalan dengan logika-kepentingan sendiri, terlepas, dan bahkan memberangus cita perwakilanisme yang menjadi esensi demokrasi. Pada titik inilah, malaise atau kebangkrutan kebudayaan (a general kulturnot) terjadi, karena karya budaya tidak lagi bisa diperbarui demi penghargaan kembali, cita filosofis kemanusiaan.

Hal sama terjadi pada kebenaran, etika, dan kodrat filosofis yang merupakan aspek yin. Oleh modernitas, segenap cita esoteris ini telah termanipulasi di dalam, dan melalui citra. Inilah simulakra itu, di mana segenap nilai kebenaran tidak lagi tertancap dalam konteks alam-kehidupan, tetapi terekayasa dalam teknologi citra. Hal ini bermasalah, sebab citra yang pada awalnya menjadi gambar dunia (world picture) -tempat manusia membangun pandangan dunia (world view)- telah berbalik sehingga melahirkan ontologi citra. Dalam ontologi ini, bukan pandangan dunia yang membentuk citra, tetapi citra itu telah menjadi world view tersendiri, dan akhirnya terlepas, sekaligus memberangus cita kebenaran yang ada di bumi realitas. Ini terjadi pada maraknya politisasi moral dalam iklan pemilu, yang secara artifisial memanipulasi nilai demi pragmatisme partai.

Demikianlah. Tetapi keseimbangan yin-yang memang niscaya. Bukan sebatas dogmatisme harus direformasi, totalitarianisme harus terdemokrasi. Melampaui itu, keseimbangan antara keduanya yang akan terjadi, dengan standar pemanusiaan manusia sebagai rem kritisisme. Dalam epos wayang, dunia akan bencana (Gara-gara), ketika masing elemen dalam kosmos menyimpang dari fungsinya. Pada saat itulah, Semar datang untuk mengembalikan keseimbangan bumi, dengan menempatkan kembali posisi masing unsur ke dalam fungsi kosmik. Semar adalah representasi dari akal-budi, yang memijak kembali segenap karya manusia pada kedalaman filosofis. Sebuah kedalaman yang tergerak dalam hukum keseimbangan hidup, yang memiliki metabolisme untuk menyembuhkan hidup itu sendiri.
Refilosofi Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti Kebudayaan
Ciganjur Centre, Jakarta

Seperti kita tahu, filsafat menempatkan kebudayaan pada aras metafisis, yang merujuk pada penempatan nilai sebagai aspek formal intrinsik. Ia tidak bicara bagaimana kebudayaan membentuk way of life pada partikular masyarakat, atau pembentukan budaya oleh kuasa pengetahuan. Filsafat kebudayaan lebih berhasrat untuk menggali kebudayaan secara ontologis, sehingga menemu inti, jiwa, dan hakikat kebudayaan. Dari sini pendekatan filosofis berkepentingan untuk mengarahkan kembali praktik kebudayaan, kepada hakikat tersebut yang mengarah pada totalitas kehidupan manusiawi.
Perspektif ini bertolak dari alas pikir yang menempatkan alam, sebagai ruang pemanusiaan manusia. Man humanizes himself in humanizing the world around him. Inilah inti kebudayaan itu. Dalam hal ini alam menjelma causa materialis kebudayaan, dan cipta budi menjelma causa formalis, sehingga membentuk kesatuan antara kebudayaan subjektif (budi manusia) dengan roh objektif: kebudayaan menyejarah. Hal ini dipertegas dalam gerak manusia, yang hanya dapat merealisasikan diri melalui eksteriorisasi: pelaksanaan daya budi sehingga melahirkan karya budaya.
Dari sini aspek formal kebudayaan terletak dalam karya budi yang mentransformasikan fakta, situasi dan peristiwa, menjadi nilai bagi manusia. Penilaian ini tertahbis dalam segenap kebaikan seperti spiritualitas, keadilan, demokrasi, supremasi hukum, kesejahteraan, dsb. Martabat kebudayaan ditentukan oleh nilainya, karena tanpa nilai, berbagai praktik hidup akan menyeleweng dari aras dan arah kehidupan itu sendiri. Disinilah kebudayaan termaktub sebagai penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani, selayak rumusan Dewan Perancang Negara (1961) kita, yang merujuk pada penyempurnaan rasa-karsa- karya (JWM. Bakker, 1984).
Dari idealitas nilai ini, maka filsafat kebudayaan kemudian melakukan kritik atas segenap unsur budaya, yakni ilmu pengetahuan, teknologi, praktik sosial, ekonomi, kesenian, dan politik. Hal ini berangkat dari pemilahan antara kebudayaan subjektif yang mengacu pada aspek batin (stricto sensu) dengan kebudayaan objektif (sivilisasi). Yang pertama merujuk pada culture; aspek imanen manusia yang terejawantah dalam ranah civilization, sebagai hasil objektifikasi nilai tersebut. Pada titik ini, pendekatan filsafat lebih mengedepankan aspek batin, untuk mengarah dan mengritik penyimpangan yang terjadi pada objektifikasi kebudayaan. Satu hal yang tidak bersifat dikotomis, tetapi korelatif (saling menyempurna), karena batin membutuhkan pemeradaban, dan peradaban membutuhkan refleksi diri untuk tetap konsisten dengan nilai asasi kebudayaan.

Orientasi Politik

Dalam perkembangannya, aras filosofis ini tergerus oleh orientasi politik dalam penempatan kebudayaan. Ini yang membuat kebudayaan kehilangan cengkeraman moral, sehingga ia menjadi alat bagi praktik kekuasaan. Hal ini terjadi dalam dua hal. Pertama, kepentingan fungsional. Kepentingan ini merupakan pergeseran dari membincang apa itu kebudayaan, kepada bagaimana memanfaatkan kebudayaan. Orang sering menyebutnya sebagai strategi kebudayaan. Sayangnya, strategi ini tidak digerakkan melalui “kuasa dalam” kebudayaan, tetapi sering oleh rekayasa sosial qua negara. Pada titik ini strategi bukan gerak masyarakat dalam transformasi diri, melainkan policy yang lahir dari otoritas negara, tentu dengan segenap kepentingan politiknya.
Di sini kebudayaan kemudian menjadi sub-sistem dari sistem politik secara keseluruhan. Ia menjelma penjaga nilai (latency) yang berfungsi untuk merekatkan integrasi sosial (integration). Integrasi ini dibutuhkan agar proses adaptasi ekonomis (adaptive) berjalan lancar sehingga gerak pencapaian tujuan (goal attainment) terselamatkan.
Di negeri kita, proses ini terjadi terkhusus era developmentalisme. Oleh Orde Baru, kebudayaan menjadi self-organizing melalui penciptaan batas dan stabilisasi struktur internal. Hal ini dilakukan melalui pendefinisian pembangunan yang mengacu pada pemercepatan ekonomi tingkat tinggi, dengan batas: anti-ideologi dan anti-konflik. Proses ini meniscayakan tidak adanya orientasi politik selain pembangunan itu sendiri, sehingga ideologi menjadi satu hal yang (dianggap) anti-ekonomi, karena ia cenderung mencipta pergelutan politik; satu hal yang mengancam stabilitas sosial yang dibutuhkan demi konsentrasi ekonomi. Dari sini kebudayaan menjelma kebudayaan negara, melalui gerak negara-sentrisme ilmu sosial. Pada level teori budaya, evolusionisme dan fungsionalisme dipakai. Menurut perspektif ini, kebudayaan merupa gerak kemajuan linear dari “masyarakat tertinggal” ke masyarakat “tinggal landas”. Hal sama terjadi pada fungsionalisme yang meniscayakan kemanfaatan politik melalui stabilisasi sistem budaya. Ini yang melahirkan teori Mentalitet itu, di mana negara memilah manakah mental yang kondusif atau menghambat pembangunan.
Hal sama terjadi pada self-referential. Pancasila yang merupakan hasil dari olah budi (Abhyudaya), dan oleh karenanya simbol konsensus budaya bangsa, telah direbut melalui monolitisisme penafsiran negara. Pelaksanaan Pancasila yang “murni dan konsekuen” menjadi referensi diri dari negara untuk menggebuk penafsiran dan gerakan masyarakat yang menyimpang dari tafsir resmi tersebut. Satu hal yang dipolitisir menjadi azas tunggal Pancasila yang membrangus azas Islam, Marhenisme dan komunisme di pluralitas partai kita. Dengan azas ini, hanya boleh ada satu ideologi di partai, yakni “ideologi kekaryaan” yang merujuk pada orientasi program pembangunan.
Pada level struktural, hal ini kemudian menahbiskan kesadaran palsu berupa penyatuan antara negara dan kebudayaan. Memang, UUD 45 mengamanatkan tugas negara; mengembangkan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia, serta menjamin kebudayaan lokal dalam kesatuan nasional. Keduanya menjadi tugas suci, di mana negara menjelma agen pengembang, atas kebudayaan yang dilihat sebagai produk. Saat ini, hubungan tersebut seakan hanya sebatas kulit. Tetapi tidak pada era sebelumnya. Negara bahkan mendaulat dirinya, dalam perspektif kebudayaan. Atas nama “jati diri bangsa”, Soekarno menutup kebudayaan kita dari hubungan peradaban, terkhusus dengan Barat. Atas nama “kepribadian nasional”, Soeharto menyeragamkan pluralitas budaya lokal demi kesatuan nasional, yang sebenarnya merujuk pada kepentingan stabilitas politik.
Pada dua rezim itu, kebudayaan benar-benar terpolitisasi. Lihatlah betapa pada Kongres Kebudayaan IV (1954), LEKRA mendaulat kebudayaan harus bercorak realisme sosialis; satu sayap kesenian dari tubuh ekonomi politik Manipol-Usdek. Di sini terjadi perselingkuhan antara Soekarno dengan komunisme, sehingga kubu realis sah melakukan pembrangusan atas gerbong Manikebu. Kebudayaan tiba-tiba menjelma ideologi. Oleh negara, ia dijadikan benteng pertahanan nasional dalam Perang Dingin vis a vis AS. Oleh PKI, ia dijadikan azas partai sehingga kebudayaan termanfaatkan untuk melampiaskan dendam kesumat atas nama hukum besi pertentangan kelas.
Hal beda namun sama pada era Soeharto. Kongres Kebudayaan 1991 menjadi penahbisan suatu birokratisasi kebudayaan. Di sini kebudayaan bahkan anti-ideologi, karena ia harus bermanfaat bagi program pembangunan. Ia kemudian tereduksi dalam political gimmick Departemen P&K, dimana kebudayaan dipangkas hanya pada kesenian pariwisata dan pendidikan formal. Kebudayaan pada tahap ini telah dipisahkan dari kehidupan, dan oleh karenanya dipangkas dari fungsi kritis atas penyimpangan negara. Penyatuan, melalui penanganan kebudayaan oleh negara adalah contradictio in terminis, karena kebudayaan merupa potensi otentik manusia, sementara negara merupa otoritas politik. Yang pertama lebih mengacu pada sisi esoteris kemanusiaan yang hanya bisa terengkuh melalui kultur (Lebenswelt), sementara yang kedua merujuk pada “pembatuan cita sosial” dalam institusi stabil yang berorientasi pada bagaimana mendapatkan, memaksakan, dan melanggengkan kekuasaan.
Kedua, politik representasional. Ini terjadi ketika studi budaya kontemporer (cultural studies), memasukkan kebudayaan pada ranah bahasa. Di sini pergeseran terjadi, dari domain kebudayaan sebagai nilai, kepada pembongkaran diskursif atas pembentukan nilai. Persoalan yang mengemuka bukanlah budaya Jawa adalah mistis misalnya, tetapi siapa dan untuk apa mistisisme dibentuk sebagai esensi budaya Jawa. Hal ini tergerak karena pemikiran pasca-modern tidak lagi merujuk pada kebenaran akal (logos) tetapi kepada diferensialitas sistem tanda (linguistic turn). Risikonya, tidak ada lagi pusat kebenaran karena ketika Jawa identik dengan mistik, maka terma mistik itu sendiri tidak memiliki makna stabil.
Dari sini kebudayaan tergulat dalam representasi. Ia (hanya) bentukan diskursif dari rezim pengetahuan. Inilah yang kemudian menempatkan kebudayaan dalam domain kekuasaan, di mana penguasa wacana (doxa) berusaha menegakkan dominasi kebenarannya. Kebudayaan menjelma kekerasan simbolik (symbolic violence), karena doxa telah menundukkan kognisi masyarakat, untuk patuh di tengah ketidaksetujuan (misrecognized). Hal ini terjadi terutama pada para pengkaji budaya, yang melihat kebudayaan sebagai reproduksi diskursif ilmu sosial. Satu hal yang kemudian terbalut oleh kritisisme politis, karena kedatangan teori-teori budaya (antropologi) sering hadir bersama dengan kolonialisme, developmentalisme, dan segenap interes negara.
Memang satu titik, hal ini bermanfaat untuk menggerakkan kritik, karena pada level kognitif, kebudayaan merupa karya sejarah yang sarat dengan kekuasaan. Apalagi di zaman simulakra, di mana nilai sering terpolitisasi menjelma “realitas kedua” nan manipulatif. Namun, dengan menempatkan nilai pada pembentukan diskursif, tidak berarti meniadakan nilai itu sendiri. Justru disinilah letak kebudayaan. Yakni dalam gerak dialektik, di mana kebudayaan melakukan kritik atas penyimpangan kebudayaan. Arah filosofis ini musti tetap tergerak, karena aras kebudayaan tidak murni dalam rasionalisme: logika deduktif yang berhasrat menganalisa, dan menguasai realitas. Ia lebih berada dalam kontemplasi minus kepentingan utilitarian, yang oleh Josef Pieper tertahbis sebagai “persepsi sunyi tentang realitas”, dengan membiarkan Sang-Ada (Being) menyingkap kebenarannya. Kerja ini yang tergulat dalam opus; gerak penciptaan kembali (re-kreasi) realitas yang telah mengalami krisis. Bukan operasi yang mendaulat kebudayaan sebagai alat kekuasaan.
Pada titik ini, hal urgen yang musti kita lakukan adalah, pemisahan kebudayaan dari kekuasaan. Ia merujuk pada kebudayaan sebagai aspek ideasional, bukan developmental. Dalam kaitan ini, kebudayaan bukan soal manusia mempertahankan hidupnya, tetapi soal manusia mempertahankan kemanusiaannya. Arah pertahanan hidup hanya menjadikan kebudayaan sebagai alat beradaptasi dengan lingkungan. Resiko nyata, kebudayaan diletakkan dalam evolusionisme, dimana (hanya) budaya beradab yang selamat seleksi alam (survival of the fittest) dan oleh karenanya sesuai (atau tidak) dengan spirit pembangunan, serta struktural-fungsional yang memaksa kebudayaan memperkuat struktur politik, demi pemenuhan psiko-ekonomi.
Tentu hal ini merupa determinisme politik atas kebudayaan. Satu hal yang beda, sebab kebudayaan terlebih merupakan usaha mengolah hidup dalam kuasa makna. Ini terjadi karena manusia bukan “binatang ekonomis”, tetapi animal symbolicum, selayak tandas Ernest Cassirer. Melalui simbol, manusia memasang makna untuk menyaring, mengontrol dan mencipta hidup, sesuai makna tersebut. Makna inilah ruang kebudayaan itu, yang secara otonom, mampu melampaui segenap tuntutan materialitas kehidupan.
Sayang, hal ini masih jauh dari harap. Bangunan negara-bangsa kita misalnya, terlandas secara political daripada cultural. Ini terjadi selayak politisasi atas terma Bhinneka Tunggal Ika, yang diputus dari akar spiritualnya demi legitimitas kekuasaan. Terma yang ditulis oleh Mphu Tantular dalam Kakawin Sutasoma ini sebenarnya merujuk pada kesatuan mistis antara Buddha dan Shiva. Meskipun keduanya memiliki entitas berbeda, tetapi tetap satu, karena tidak ada dualitas dalam Kebenaran: Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Oleh negara kita, pijak spiritual ini dipangkas; Soekarno mengarahkannya demi “persatean” (ideologi) nasional, Soeharto (hingga kini) menjadikannya sebagai represifitas kesatuan teritorial atas nama NKRI. Ini membuktikan bahwa kesadaran berbangsa kita telah lama terkangkangi oleh kepentingan kenegaraan. Padahal bangsa adalah rahim kebudayaan, sementara negara hadir bersama dengan kolonialisme. Kesilapan ini berdampak pada pemaknaan sarwa struktural atas politik, dimana berpolitik pastilah “menjadi negara”, bukan perjuangan sosial demi alokasi nilai, sehingga setiap “wadah kehidupan” terpenuhi, sebagaimana daulat alam menahbiskannya.
Redefinisi Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti Kebudayaan
Ciganjur Centre, Jakarta

Kebudayaan kini mengalami redefinisi. Ia tak lagi tertahbis sebagai sistem nilai absolut nan tunggal. Melampaui itu, ia kini termaknai sebagai contested representation and resistance. Dalam domain ini, kebudayaan telah menjelma ruang kontestasi bagi pelaku budaya untuk membebaskan, sekaligus memenangi pemaknaan kebenaran.
Pada awalnya, kebudayaan adalah nilai. Ia berada dalam ruang filosofis yang menempatkan pemanusiaan manusia sebagai cita utama. Man humanizes himself in humanizing the world around him. Ini terjadi karena posisi manusia yang merupa hewan simbolik (animal symbolicum). Melampaui makhluk lain, ia selalu menempatkan simbol sebagai penyaring maknawi setiap ia berhadapan dengan alam. Dari sini tindak manusia tidak melulu menanya pada apa sifat sesuatu, tetapi bagaimana sesuatu seharusnya bersifat.
Pada ranah antropologis, langgam ini kemudian terpilah menjadi tiga ruang; ide, perilaku, dan benda. Ide mengacu pada kebudayaan sebagai sumber bagi pandangan dunia (Weltanschauung) yang menjadi pedoman pemaknaan (system of meaning) dan penilaian (value system). Ini menjelmakan sistem kognitif yang memungkinkan manusia untuk merumuskan apa itu realitas (ontologi), serta bagaimana realitas diatur dan bermakna (kosmologi). Jika kebudayaan telah menjelma sistem makna, maka ia mampu membentuk perilaku bernilai (Lebensanschauung) yang akhirnya menentukan sistem sosial, sehingga gerak hidup dan produk peradaban, terarah berdasar pijak-tuju kebudayaan.
Hal inilah yang melahirkan otosentrisitas (autocentricity); kebudayaan memiliki otonomi relatif. Ia bukanlah bias dari basis material masyarakat, tetapi sebaliknya, menjelma supra-sektor (das Umgreifende) yang melingkupi, merekatkan, dan memberi makna bagi segenap sub-sektor kehidupan, sejak politik, ekonomi, pendidikan, agama, regulasi sosial, dan seni. Jika mengetahui merupa kodrat insani, maka sistem pendidikan yang memungkinkannya adalah kebudayaan. Jadi, ketika sistem tersebut menjauhkan anak didik dari kesadaran diri, maka krisis pendidikan secara sah menjadi bagian dari krisis kebudayaan. Demikian tandas perspektif ini.

Sistem adaptif

Segenap gelaran di atas menempatkan kebudayaan dalam aras ideasional. Pada titik ini, kebudayaan bersifat menentukan, sekaligus menjadi arah dan rem moral. Hanya dalam perjalanan, lahir arah lain yang lebih memosisikan kebudayaan sebagai sistem adaptif. Di sini kebudayaan kemudian menjelma conditioning bagi cara manusia beradaptasi dengan alam.
Lahirlah fungsionalisme itu, yang memosisikan kebudayaan sebagai pola pemeliharaan laten (latent pattern maintenance). Pada langgam ini, nilai tak lagi menjelma langit kognitif-normatif, tetapi sebuah penjagaan rekat sosial demi lancarnya capaian politik (goal attainment). Dari sini kebudayaan tinggal sebagai warisan budaya, di mana negara menjadikannya sebagai legitimasi politik agar sebuah kebijakan reasonable dan acceptable. Ini yang melahirkan determinisme politik atas kebudayaan, semisal proyek kebudayaan nasional Orde Baru yang lahir dari kepentingan integrasi politik.
Pada level internal, hal ini menahbiskan kebudayaan sebagai sistem. Selayak tubuh, ia kemudian terbentuk oleh jaringan sel yang saling merekat, berkembang, dan merekat kembali, menuju gerak dinamis-statis (homeo-stationer). Inilah yang melahirkan struktur, di mana kebudayaan menjelma sistem auto-poietic; sebuah struktur integratif yang menstabilkan diri melalui pembedaan diri dengan yang liyan. Kebutuhan struktur kemudian satu, yakni memangkas segenap unsur non-sistem yang mengganggu stabilitas sistem. Tentu gerak ini terbarengi oleh karakter utama logika sistem, yakni reduksionisme. Karena kebudayaan begitu kompleks, maka kebutuhan stabilitas meniscayakan reduksi kebudayaan. Satu hal yang telah digerakkan negara sejak Kongres Kebudayaan IV (1991) melalui birokratisasi yang membonsai kebudayaan dalam political gimmick departemen kebudayaan dan pariwisata. Watak otosentris kebudayaan terpangkas, karena ia menjadi jualan pariwisata yang involutif, dan anti-emansipasi.
Pada titik ini redefinisi tergerak melalui ketidakpercayaan terhadap logosentrisme. Ini yang mengamini sebuah pergeseran makna kebenaran dari pijak logos kepada bahasa. Sejak Pencerahan, kebenaran selalu identik dengan archia; kesatuan antara subjek, tuturan dan makna. Ia menjelmakan pusat kebenaran yang terbentuk oleh struktur internal kesadaran (soliloquy). Disinilah lahir subjek itu, di mana kebenaran pikiran meneguhkan kebenaran diri (auto-affection). Satu hal yang disebut Derrida sebagai “metafisika kehadiran”, karena dengan berfikir, wicara, dan menulis, satu manusia tiba saja menjadi pemilik sah kebenaran dengan meniadakan kebenaran lain.
Pada aras kebudayaan, hal ini yang melahirkan esensialisme; budaya satu lebih adiluhung dari budaya lain, rasionalisme tidak cocok dengan Timur, atau demokrasi terpimpin (Soekarno) lebih sesuai dengan jati diri bangsa. Berbagai penunggalan esensi ini tentu mencipta esensi lain yang berbeda, dengan penahbisan kebenaran hanya pada diri. Hal ini problematis, karena segenap konsepsi kebenaran tak bisa terlepas dari permainan tanda dan diferensi bahasa. Ini yang membuahkan differance, di mana makna tidak lagi merupa kebenaran yang mengada (Being), tetapi sebuah proses penafsiran yang terus menjadi (becoming), tanpa akhir.
Hal sama terjadi pada level struktural yang telah memosisikan kebudayaan sebagai sekrup politik. Paradigma sistem kemudian menjelmakan kesadaran palsu, di mana kebudayaan ditangani secara komponensial; ia selayak elemen teknis yang bisa dibongkar pasang sesuai kebutuhan mesin. UUD 45 memang mengamanatkan negara untuk menjamin sekaligus memajukan kebudayaan nasional. Tetapi hal ini bahkan mencipta contradictio in terminis, karena negara terbentuk dari otoritas represif, sementara kebudayaan lebih merupa pijak dan rem moral yang lahir dari hukum dasariah manusiawi. Watak filosofis dari kebudayaan yang merujuk pada pencarian kebenaran akhir (final causes) akan berbenturan dengan corak rasionalitas negara yang mengacu pada teknokrasi. Bagi yang pertama, kesungguhan menaati nilai yang menjelma tuju, sementara yang kedua, kepentingan menggunakan sesuatu (technical know how) yang menjadi ukuran.
Tentu fakta ini sudah terkritik, melalui penyingkapan politis, ilmu sosial dan kekuasaan. Segenap proyek logos semisal pembangunan yang memosisi kebudayaan sebagai mesin koersif, telah dibongkar oleh sifat kritis dari kebudayaan itu sendiri yang kini tergulat dalam ranah kekuasaan. Tak ada lagi kebenaran yang harus dipaksakan, karena sistem kini tak terlihat sebagai politik kesejahteraan, tetapi sebuah regulasi nilai demi pendisiplian tubuh (disciplinary). Kesatuan makna, politik, dan institusi sosial kini lebih terlihat sebagai praktik governmentality, di mana kekuasaan telah memanfaatkan kebenaran sebagai teknologi pengetahuan. Dari sini, pergulatan kebudayaan tak lagi mengikat tanya; bagaimana sesuatu seharusnya bersikap, tetapi bagaimana kekuasaan memanfaatkan kebenaran demi reproduksi diri? Satu hal yang menurunkan kebudayaan dari langit idealisme-filosofis, kepada kritik atas kekerasan simbolik demi tergeraknya katarsis politik.
Involusi Kebudayaan
Syaiful Arif
Peneliti Kebudayaan
Ciganjur Centre, Jakarta

Dalam sejarah kita, kebudayaan selalu tergelut di antara tiga hal; penanganan negara, ilmu sosial, dan krisis kesenian. Ia menjelmakan dilema yang muncul dalam ketegangan antara evolusi (pembaruan) dan involusi (kemandegan). Sering ketiga hal ini saling menegasi, sehingga kebudayaan menjauhi citanya, yang merujuk pengejaran totalitas kesempurnaan (a pursuit of total perfection).
Secara praksis, terdapat perbedaan dari ketiga unsur di atas dalam mendekati kebudayaan. Bagi negara, kebudayaan terlebih merupa “warisan budaya”, yang sayangnya terposisi demi kepentingan praktis. Kebudayaan menjelma latent pattern maintenance; sebuah pola pemeliharaan (nilai) laten, agar program politik reasonable (karena itu tidak kontradiktif), serta acceptable; oleh karenanya tidak menimbulkan resistensi apalagi oposisi.
Dari sini lahirlah pola kebudayaan yang ganjil: kebutuhan akan negara-kesatuan, mengharuskan kesatuan kebudayaan. Lahirlah agenda kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa, yang merupakan derivasi politis atas program politik; nation building dan integrasi politik. Risiko nyata: ketika kebijakan politik tak mempermasalahkan, maka kebijakan budaya berjalan lancar. Namun, ketika terdapat perlawanan atas kebijakan negara, maka pemerintah menggunakan argumentasi budaya untuk mematahkannya, semisal tradisi kritik, tak sesuai dengan jati diri bangsa. Inilah yang terjadi, sehingga kebudayaan politik (political culture) terlahir dari kebutuhan negara untuk mengatur politik kebudayaan (cultural politics).
Sementara itu, bagi ilmuwan sosial, kebudayaan terlebih merupa kata benda; apa itu kebudayaan, apa unsurnya, bagaimana perubahan secara de facto. Di sini ilmu sosial kemudian membagi tiga macam kebudayaan; ide, pola laku, dan benda. Ide mengacu pada kebudayaan sebagai sumber bagi pandangan dunia (Weltanschauung) yang menjadi pedoman pemaknaan (system of meaning) dan pedoman penilaian (value system). Sistem kognitif ini memungkinkan manusia untuk merumuskan apa itu realitas (ontologi), serta bagaimana realitas diatur dan bermakna (kosmologi). Jika kebudayaan telah menjelma sistem makna, maka ia mampu membentuk perilaku bernilai (Lebensanschauung) yang akhirnya menentukan sistem sosial, sehingga gerak hidup dan produk peradaban, terarah berdasar pijak-tuju kebudayaan.
Bagi kalangan ini, persoalan utama merujuk pada pembaruan kebudayaan. Ini yang kemudian menimbulkan dilema, karena kebudayaan, terlebih merupa paradigma kebudayaan (cultural paradigm). Ia tergelut dalam dualitas subjek, baik sebagai pasien maupun agen kebudayaan. Sebagai pasien, kebudayaan terwarisi, sehingga pasien melihat pembaruan sebagai ancaman. Risikonya, seorang pasien harus berani menyadari akan krisis kebudayaannya, sehingga ia mampu menjelma agen yang melakukan kritik kebudayaan. Inilah yang meniscayakan kesesuaian antara pembaruan paradigma, dengan penerimaan struktur sosial, serta landas material kebudayaan. Sebuah pembaruan cara pikir (orientasi) harus mampu mengelupas patologi nilai (dis-orientasi), sehingga dari sana lahir kesadaran melakukan re-orientasi. Jika pembaruan pemikiran berhasil membumikan penerimaan organ sosial, maka transisi kebudayaan berhasil memuluskan evolusi kebudayaan. Jika sebaliknya, maka involusi yang terjadi. Yakni gerak semu formalisme budaya, minus transformasi kualitatif.
Hal beda terjadi pada seniman yang memosisi kebudayaan sebagai kata kerja, bahkan pekerjaan itu sendiri. Kesenian mendaulat kebudayaan tidak sebagai warisan (Gabe), tetapi tugas (Aufgabe). Ini terjadi karena gelisah seniman yang merasa krisis kebudayaan, sehingga yang tergerak adalah daya cipta. Seniman butuh untuk merumuskan kembali ide, menyesuaikan kembali perilaku, dan mengolah kembali benda budaya.
Hal ini terlaku tak semata berlandas tanggungjawab moral-sosial, tetapi dorongan spiritualitas esoterik tak berumus. Ya, kesenian menjelma iman sekular, satu ruang sakral tempat seniman menjelmakan pengalaman eksistensial, serta bersit penyingkapan Keindahan transendental; sebuah visio beatifica, nan “pelik menarik ingin/serupa dara di balik tirai”, pinjam syair Amir Hamzah. Dari sini option seni adalah opus, bukan operasi. Bagi operasi, kebudayaan ditangani dan dikuasai, selayak policy negara. Bagi opus, kebudayaan terkreasi demi penciptaan kembali (rekreasi); manusia menyempurna diri dalam karya, dan menyempurnakan karya dalam penyempurnaan diri (I. Kleden, 1988).

Problem utama

Hanya sayang, bahkan dari ketiga ruang tersebut, muncul problem kebudayaan yang hingga kini tak terselesaikan. Problem ini yang pada akhirnya menambat kebudayaan dalam involusi, di mana kebudayaan kita telah kehilangan daya rem moral, dan hanya menyisa hias lahiriah (paraphernalia) yang sering terpolitisasi.
Pada aras struktural, kebudayaan masih ditangani oleh negara. Ini tragis, sebab ia membetot kebudayaan hanya sebagai sub-sektor, selayak ekonomi, pendidikan, dan seni. Dalam situasi ini, kebudayaan telah kehilangan daya kritis yang berperan sebagai penyatuan keterpisahan sub-sektor, kepada supra-sektor nilai yang merujuk pada kehidupan manusiawi. Penanganan negara atas kebudayaan adalah politis, karena kebudayaan yang merupa tujuan normatif, telah terganti oleh tujuan politik yang lahir dari hasrat menguasai. Risiko nyata. Kebudayaan terlembaga (birokratisasi), terjual dalam komoditas pariwisata, serta terpolitisasi, menjelma kuasa simbolik nan represif.
Hal ini terjadi karena ilmu sosial yang “menangani” kebudayaan, masih bersifat non-kritis. Ia tergulat dalam dominasi ilmu alam dan hermeneutis. Pada yang pertama, kebudayaan tertangkap secara teknis. Ia menjelmakan kognitif komponensial, di mana kebudayaan bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan mesin besar, yakni pembangunan ekonomi. Sementara yang kedua merujuk pada empati interpretif, yang hendak memaknai pemaknaan (interpretation of interpretation) manusia atas budaya. Ini baik sebagai metode, tetapi belum emansipatif karena cenderung hanya ingin memahami. Penggunaan ilmu sosial kritis masih jarang digunakan, padahal perspektif inilah yang mampu menggerakkan kebudayaan dalam domain pembebasan (artes liberales), sehingga evolusi kebudayaan mampu tergerak.
Hal sama terjadi pada kesenian, yang bahkan mencipta estetisasi kebudayaan. Pada langgam ini, pergulatan kebudayaan hanya tergelut dalam kesenian. Ini terjadi sejak pertentangan kiblat budaya; progresifitas Barat atau esoterisme Timur, seni untuk seni atau seni untuk rakyat, sastra kontekstual atau sastra universal. Satu hal yang telah melahirkan pro-estetik total era Orde Baru, sebagai pembebasan seni dari beban ideologi; kata non-konseptual Sutardji, drama non-verbal Rendra, cerpen non-plot Putu Wijaya, puisi non-pragmatis Goenawan Mohammad. Gerak ini pada titik ekstrim bahkan melahirkan happy-go-lucky-attitude; pemisahan seni dari krisis kebudayaan. Ini terjadi karena indah seni hanya untuk dirinya sendiri, bukan cipta keindahan pada aras kehidupan, yang tentu akan bersinggungan dengan carut-buruk libido politik.

Rabu, Desember 31, 2008

Antropologi Sakral dan Antropologi Profan
Oleh: Ferry Hidayat


Ketertarikan mempelajari kultur manusia lain—apapun motif dan niat di belakangnya—merupakan bahan dasar pembangunan ilmu Antropologi. Ketertarikan itu mendorong lahirnya tulisan-tulisan dan catatan-catatan tentang kultur dari banyak bangsa. Catatan itu mulanya hanyalah sketsa sederhana tentang suatu bangsa, tapi lama-kelamaan catatan yang kian menumpuk itu dipelajari, dianalisa, dikategorisasi, dan akhirnya diabstraksikan sehingga menjadi ‘teori-teori umum’ (general theory), yang dalam ilmu-ilmu alam hal itu disebut dengan ‘hukum-hukum’ (the laws). Dengan temuan ‘teori-teori besar’ itu, yang dimulai sejak abad 17 M hingga sekarang, Antropologi terus berkiprah dan berkontribusi besar dalam upaya memahami jati diri bangsa-bangsa di dunia.[2]

Kontribusi terbesar dan teragung dari Antropologi di antara kontribusinya yang lain yang tak terhitung banyaknya ialah Antropologi telah melakukan secara hampir sendirian penyingkapan dan penggalian tradisi spiritual[3] masyarakat primitif[4] di hampir seluruh bagian dunia. Karena itu, semua masyarakat primitif patut berterima kasih atas jasa Antropologi ini. Dan pada gilirannya, ahli-ahli Antropologi berterima kasih pula kepada semua masyarakat primitif. Sebab, karena merekalah, para ahli bisa makan kenyang dan duduk dalam posisi prestisius di universitas-universitas bergengsi sebagai profesor-profesor. Ungkapan yang ditulis oleh Sir James George Frazer (1854-1941) dalam bukunya The Golden Bough di bawah ini, kiranya cukup mewakili rasa hutang budi semua antropolog kepada suku-suku primitif itu:

We stand upon the foundation reared by the generations that have gone before, and we can but dimly realise the painful and prolonged efforts which it has cost humanity to struggle up to the point, no very exalted one after all, which we have reached. Our gratitude is due to the nameless and forgotten toilers, whose patient thought and active exertions have largely made us what we are… Contempt and ridicule or abhorrence and denunciation are too often the only recognition vouchsafed to the savage and his ways. Yet of the benefactors whom we are bound thankfully to commemorate, many, perhaps most, were savages… we owe to our savage forefathers who slowly acquired by experience and transmitted to us by inheritance those seemingly fundamental ideas which we are apt to regard as original and intuitive. We are like heirs to a fortune which has been handed down for so many years that the memory of those who built it up is lost, and its possessors for the time being regard it as having been an original and unalterable possession of their race since the beginning of the world. But reflection and enquiry should satisfy us that to our predecessors we are indebted much of what we thought most our own…[5]
Masyarakat primitif berterima kasih, karena Antropologi telah membuat mereka populer, bahkan hingga di luar lingkup mereka sendiri; ‘universalisasi keprimitifan’. Sedangkan Antropologi berterima kasih, karena masyarakat primitif telah menyediakan baginya bahan mentah data-data yang nantinya dideduksikan, sehingga menjadi teori-teori yang ‘canggih’. A. Ernest Crawley, misalnya, yang mengambil data-data tentang tradisi minum darah orang Halmahera, orang Ambon, dan orang Sulawesi untuk membangun teori umum tentang kecenderungan mistik agama primitif.[6] Sedangkan Alb C. Kruyt (1869-1949), mengambil data-data agama orang Toraja untuk membangun teori tentang ‘zat sukma’ (zielestof).[7] P. Wilhelm Schmidt, S.V.D. (1864-1954), mengambil data-data agama suku Semang, suku Sakai, dan suku Irian (terutama Irian Timur) untuk membangun teori umum tentang asal mula konsep Tuhan, dalam karyanya yang sangat tebal Der Ursprung der Gottesidee (1926-1955).[8] Pengarang The Making of Religion (1898), Andrew Lang, juga mengambil data-data tentang agama suku Irian Jaya (Pegunungan Tengah) untuk membangun teori umum tentang ‘dewa tertinggi’.[9] Begitu pula dengan antropolog Durkheimian, Robert Hertz, yang mengambil data-data tentang upacara kematian suku-suku asli di Pulau Kalimantan untuk mendukung teori khas Durkheimian, bahwa upacara kematian adalah salah satu upacara yang berfungsi mempererat kembali kolektivitas sosial yang sempat terganggu oleh kematian anggota suku-suku tersebut.[10]

Bisa dikatakan—tanpa maksud membesar-besarkan—bahwa tak ada kultur suatu bangsa di dunia ini yang tak pernah dijamah oleh Antropologi. Universitas negeri di seluruh dunia membuka Jurusan Antropologi dan telah menelurkan jutaan alumninya. Tehnik-tehnik baru dan metode-metode baru pun terus dikembangkan oleh ahli-ahli Antropologi di seluruh dunia. Akan tetapi, bersamaan dengan kompleksitas sofistikasi Antropologi itu, setidak-tidaknya terdapat “efek negatif” Antropologi, khususnya terhadap tradisi spiritual masyarakat primitif. Efek negatifnya yang paling parah ialah pemprofanannya atas tradisi spiritual masyarakat primitif melalui interpretasinya yang ilmiah, anti-sakral, over-rasional, dan over-empiris. Pemprofanan itu pada awalnya memang tidak kentara, tapi lambat laun, terutama sejak gelombang spiritualisme kembali pasang di awal abad 20 di Barat yang dibarengi dengan penolakan berskala-besar terhadap Modernisme oleh gerakan yang disebut “Pascamodernisme”, pemprofanan itu mulai dan terus kian disadari.

Kesadaran akan adanya pemprofanan itu setidaknya membuahkan suatu tekad bahwa ‘penindasan saintifik’ atas spiritualisme masyarakat primitif harus dihentikan; segala jenis kajian ilmiah yang mencoba memahami spiritualisme mereka lewat pendekatan-pendekatan dan metodologi yang bukan bersifat spiritual harus dilawan. Spiritualisme masyarakat primitif (di Indonesia, saya menyebutnya Adat) harus diberi haknya yang sejak lama telah dirampas. Singgasana spiritual dan mahkota kerajaan ruhaniah harus dikembalikan lagi kepada spiritualisme masyarakat primitif.

Proposisi dasar dari segala jenis pembangkangan terhadap kajian-kajian antropologis yang anti-sakral adalah bahwa ‘yang sakral’ (the sacred) hanya bisa dipahami lewat ‘yang sakral’; ‘yang profan’, karena penekanannya atas keprofanan, tidak bisa memahami ‘yang sakral’. Lewat sebuah sedotan (straw), tidak akan nampak keseluruhan realitas yang dapat dilihat mata, apalagi realitas sakral yang hanya bisa dilihat oleh ‘mata hati’. Semua spiritualisme masyarakat primitif, sebagai ‘yang sakral’, harus dipahami lewat metodologi yang sakral. Jika tidak, maka spiritualisme itu tidak lagi spiritualisme, tapi pandangan profan atas spiritualisme.

Puncak dari penolakan atas kajian antropologis yang anti-sakral (di sini saya menyebutnya ‘Antropologi Profan’) adalah pernyataan absolut bahwa Antropologi tidak bisa memahami sedikitpun tentang spiritualisme masyarakat primitif; hanya Spiritualismelah dan Antropologi yang lahir darinyalah (yang di sini disebut ‘Antropologi Sakral’) yang bisa memahaminya.

Kajian Antropologi atas Suku Asli Indonesia
Kajian antropologis di Indonesia sudah berumur lama. Penelusuran dapat dilakukan hingga abad 13, yakni ketika Marco Polo menginjakkan kakinya ke Pulau Sumatra pada tahun 1292. Kesan yang eurosentris sangat jelas nampak dalam kata-katanya mengenai penduduk pulau tersebut, seperti: savages (penduduk primitif), very savage (sangat tidak beradab), like beasts (seperti binatang buas), unclean (kotor), brute beasts (orang yang kasar dan buas), very ugly brutes to look at (orang yang sangat menjijikkan untuk dilihat), nasty and brutish folk (orang brutal dan nakal), out-and-out savages (orang yang sangat tidak beradab), dan detestable (menjijikkan).[11] Seolah-olah semua yang dilihatnya adalah kebiadaban dari masyarakat tak-berkultur dan tak-berperadaban. Marco Polo adalah ‘anak kandung’ Eropa Abad Pertengahan, di mana Gereja dan Kerajaan berlomba-lomba membangun peradaban tinggi. Kedatangannya ke Indonesia hanya berselang satu tahun setelah program The Crusades (Perang Salib) berakhir dan delapan tahun kemudian dimulailah Renaissance di Eropa. Pandangan kultural Marco Polo tentu saja sangat dipengaruhi oleh peradaban adiluhung Katolik-Gothik, maka wajar saja jika ia memandang ‘savage’ orang yang tak berkultur setara dengan kulturnya. Polo belum memandang penduduk Sumatra sebagai ‘Noble Savage’ (Penduduk Primitif Terhormat), karena Jean-Jacques Rousseau belum menerbitkan karyanya Discourses on the Origins of Inequality (1754).
Pandangan bahwa penduduk Indonesia adalah ‘savage’ tetap bertahan hingga colonist dan imperialist Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris datang. Mereka tetap menggunakan kacamata Eropa untuk memandang peradaban Indonesia, walaupun di kemudian hari pandangan itu direvisi dan dievaluasi. N. Graafland, seorang Pendeta Kristen Belanda yang menulis catatan perjalanannya di Minahasa (Pulau Sulawesi) berjudul De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand (1869), menyebut penduduk asli Minahasa sebagai ‘orang liar’ yang masih dungu dan berperadaban rendah. Perhatikanlah dengan seksama kata-katanya yang amat merendahkan: ‘…bukankah kami tengah berada di antara orang ‘liar’ yang punya disiplin?…’[12] yang ‘…masih membutuhkan bimbingan’ orang Eropa beradab dan ‘…tidak dapat membiarkan mereka dengan diri mereka sendiri. Kalau hal itu dilakukan, maka yang paling belakang segera akan tertidur karena dorongan untuk berjuang maju belum tertanam secara mendalam… Orang Minahasa masih memerlukan banyak dorongan. Mereka harus belajar bekerja, belajar menggunakan waktu dan tenaga, belajar mengenal kekayaan yang tersimpan dalam tanah mereka, belajar memahami bahwa dengan peradaban yang lebih tinggi kebutuhan akan meningkat…’[13] Kedatangan Kolonialisme Belanda yang disertai Pengadaban Protestantistik atas penduduk Minahasa, menurut N. Graafland, merupakan tindakan terpuji, sebab, ‘bagaimanapun penilaian orang mengenai penguasaan [kolonialisme—FH] tersebut…akhirnya membawa berkah untuk orang Minahasa…’[14]
Yang tak kalah merendahkan adalah tulisan Charles R. Watson mengenai penduduk Batak yang dimuat dalam The Moslem World Vol.III, April 1913, No.2—suatu jurnal yang diterbitkan secara internasional untuk mengabarkan perkembangan Penginjilan di seluruh Dunia Islam. Dalam tulisannya, Watson menyebut orang Batak yang belum beragama Islam sebagai heathen atau pagan (orang yang tak beragama), dan unbelieving heathen (orang tak beragama yang kafir).[15] Seolah-olah orang Batak berperadaban rendah, sehingga mereka tidak memiliki religi.
JWM. Bakker (yang bernama Jawa, Rachmat Subagja), seorang antropolog sekaligus Pastor Katolik Ordo Jesuit, mewarisi pula ‘berkah pengadaban Katolik’ atas penduduk Indonesia. Dalam karyanya Agama Asli Indonesia (1981), Bakker dengan tegas menyatakan, bahwa meskipun penduduk asli Indonesia memiliki religi, akan tetapi, sambil mengutip Exhortatio Apostolica ‘Evangelii Nuntiandi Paus Paulus VI, ‘…agama-agama lain tidak berhasil mencapainya [hubungan aktif dan otentik dengan Tuhan—FH], sekalipun mereka merentangkan tangannya ke surga,’ sebab agama-agama non-Kristiani hanyalah ‘benih-benih Sabda’, hanyalah sekadar ‘persiapan sejati bagi Kabar Gembira’, yang kepenuhannya dan kesempurnaannya baru dapat digenapkan oleh Kristianitas.[16]
Apakah para penginjil yang menertawakan dewa-dewa penduduk asli tidak menyadari bahwa Kristianitas yang mereka ajarkan juga merupakan bahan tertawaan bagi penduduk asli? Chinua Achebe berhasil melukiskan betapa Kristianitas yang disebarkan oleh penginjil kulit putih di suku Mbanta di Afrika merupakan lelucon lucu bagi suku tersebut, dalam novel antropologisnya yang terkenal Things Fall Apart:
Juru bahasa menyampaikan kepada orang kulit putih, dan orang kulit putih segera memberikan jawabannya. “Semua dewa yang Anda sebutkan itu bukan Tuhan sama sekali. Mereka itu dewa-dewa tipuan, yang menyuruh Anda sekalian membunuh teman-teman Anda sendiri dan menghancurkan anak-anak yang tidak bersalah. Hanya ada satu Tuhan yang sejati, dan Dia itu yang menguasai bumi, langit, Anda sekalian dan saya, dan kita ini semua.”
“Kalau kami meninggalkan dewa-dewa kami dan mengikuti dewa kalian,” tanya orang yang lain, “siapa akan melindungi kami dari kemarahan dewa-dewa dan leluhur yang telah kami telantarkan?”
“Dewa-dewa kalian itu tidak hidup dan tidak dapat berbuat apa pun yang merugikan kalian,” jawab orang kulit putih. “Mereka itu cuma potongan kayu dan batu.”
Ketika kata-kata ini diterjemahkan kepada orang-orang Mbanta, mereka pun ketawa mengejek. Orang-orang itu mestinya gila, demikian kata mereka antara sesamanya. Mana mungkin mereka mengatakan bahwa Ani dan Amadiora tak berbahaya? Dan Idemili dan Ogwugwu juga? Dan sebagian dari mereka pun mulai bubar.[17]
Pandangan bahwa penduduk asli Indonesia adalah savage, ‘orang liar’ dungu, ‘orang yang tak memiliki religi’, ‘orang kafir’ yang ‘beragama tak-sempurna’ yang dianut oleh pengamat-pengamat asing itu tentunya mendorong mereka untuk ‘memperadab’ (civilize) penduduk asli itu. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk menyulap penduduk asli menjadi ‘beradab’. Hasil yang paling nampak dari ‘pendidikan pengadaban’ ini adalah pelarangan pelaksanaan ritual-ritual asli dengan cara melibatkan administrasi kolonial Belanda dan perubahan makna kata mengenai religi lokal asli menjadi kata-kata mengenai Kristiani. Istilah ‘Lowalangi’ yang dipahami orang Nias sebagai ‘dewa langit’ sebelum Penginjilan, sekarang setelah Penginjilan berubah makna menjadi Allah Sang Tuhan Bapak. Istilah ‘osali’ yang dulu dipahami sebagai rumah-rumah dimana di dalamnya dilakukan upacara ibadat lokal asli, berubah menjadi berarti ‘gedung gereja’. Istilah ‘punen’ yang dipahami orang Mentawai sebagai hari pantang bekerja atau waktu istirahat yang ketentuannya diatur oleh paham religi asli, berubah sejak Penginjilan menjadi berarti ‘hari-hari libur yang disucikan Kristiani’.[18] Suatu program ‘pribumisasi Kristiani’ sistematis yang menjadikan penduduk asli jadi terasing di tanah airnya sendiri.
Lalu, adakah antropologi yang apresiatif terhadap penduduk asli Indonesia secara total—yang mengapresiasi dan berempati atas kultur dan peradaban asli mereka tanpa memakai kacamata outsider, tapi kacamata insider? Kajian-kajian antropologis yang dilakukan penginjil-penginjil asing terhadap penduduk asli Indonesia tidak bisa diharapkan demikian. Barangkali harapan dapat diberikan pada kajian-kajian antropologis dari para antropolog ‘sekuler’. Siapa tahu, dengan sekularisme mereka, obyektifitas kajian menjadi kian tinggi dan sempurna.
Tapi, nyatanya, antropologi ‘sekuler’ justru memberi problem tersendiri dalam mengkaji kultur dan peradaban asli Indonesia. Kecenderungan rasionalistik-materialiastik tentu saja gagal memahami peradaban asli Indonesia yang sepenuhnya integral-kosmikal. Antropologi Evolusionistik yang dimulai oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), memandang kultur dan peradaban manusia melewati tahap-tahap evolusi dari yang sangat bersahaja menuju yang sangat kompleks. Dalam hal agama, taraf-taraf evolusi dimulai dari Animisme menuju Manisme menuju Fetisisme menuju Politeisme, dan terakhir menuju Monoteisme.[19] Dalam hal ekonomi-sosial, taraf-taraf evolusi dimulai dari savage state (manusia pengumpul dan pemburu) menuju barbaric state (manusia petani dan peternak), dan akhirnya menuju civilized life (manusia penemu tulisan).[20] Pemahaman evolusionistik ini tidak mungkin mampu memahami peradaban Indonesia asli dengan tingkat apresiasi yang tinggi, sebab tentunya ia memandang peradaban asli itu sebagai peradaban rendah di taraf evolusi savage state dan barbaric state, yang mengandung ajaran religi rendah di taraf evolusi Animisme, Manisme, dan Fetisisme,—yang baru menuju kesempurnaan evolusioner saat Hindu-Buddhisme datang (Politeisme) dan Islam-Kristianitas datang (Monoteisme).
Antropologi Difusionistik yang dimulai oleh Leo Frobenius, F. Graebner, Ankermann, P. Wilhelm Schmidt S.V.D. di abad 19 dan diteruskan oleh H. Winckler, William J. Perry dan Grafton Elliot Smith di abad 20, memandang kultur dan peradaban manusia berkembang bukan dalam skema evolusionistik, tapi dalam skema difusi (perluasan). Peradaban manusia tidak pernah mengisolasi; pasti ada kontak-kontak kultural yang terjadi saat suatu masyarakat bergaul dengan masyarakat lain. Bagi kalangan difusionis, tak ada peradaban asli yang berhasil bertahan lama dalam ‘pergaulan kultural’ ini. Namun, yang amat ‘menyakitkan’ ialah kesimpulan difusionistik mereka, bahwa seluruh kultur dan peradaban manusia di manapun (termasuk di Indonesia) mesti berasal-mula dari peradaban dan kultur tertua Babylonia dan Mesir yang menyebarluas ke seluruh dunia![21] Kesimpulan ini jelas saja memandang peradaban Indonesia sebagai peradaban tiruan dari Babylonia dan Mesir; tak pernah ada peradaban Indonesia asli.
Jika dua jenis antropologi di atas saja gagal memahami peradaban Indonesia secara baik dan benar, maka apalagi dengan Antropologi Reduksionistik?[22] Kecenderungannya yang suka mereduksi kenyataan bulat sebagai serpihan-serpihan kecil tentu saja tidak mampu memahami peradaban dan kultur asli Indonesia yang integral, bulat, menyeluruh.
Untungnya, terdapat antropologi ‘sekuler’ yang merevisi dan mengevaluasi pandangan-pandangan pendahulunya yang salah. Bronislaw Malinowsky dan Arnold Toynbee membangun apa yang kemudian disebut Antropologi Struktural-Fungsional, yang memandang bahwa kultur dan peradaban manusia merupakan integrated whole (keseluruhan yang integral) atau indivisible whole (keseluruhan yang tak-bisa-dipisah-pisah), dan seluruh aspek-aspek yang berbeda-beda dari kultur menjalankan fungsi-fungsinya untuk menjaga integritas integrated whole tersebut. Karena itu, misalnya, agar dapat memahami keris Jawa secara benar, kita tidak boleh memandangnya secara terpisah dari keseluruhan kultur Jawa. Atau, agar dapat memahami tari kecak dengan benar, maka kita harus memahaminya dari lingkup yang lebih luas, yakni keseluruhan struktur kultural Bali.
Selain terobosan Malinowsky dan Toynbee, terdapat pula terobosan lain, seperti yang digagas oleh Franz Boas. Ia memelopori apa yang disebut Antropologi Partikular-Historis. Boas sangat mementingkan kajian sejarah kultural dalam upaya memahami kultur dan peradaban, tapi, alih-alih mencari asalmula kultur sedunia seperti yang dilakukan oleh William J. Perry dan GE. Smith atau membangun ‘teori besar’ tentang tahap-tahap evolusi kultur sedunia seperti yang dilakukan Tylor, Boas berusaha memahami kultur masyarakat berpopulasi kecil yang belum dikenal Barat dengan penelitian lapangan langsung dan pemahaman akan sejarah khas masyarakat itu. Dengan cara tersebut, misalnya, kita dapat memahami kultur Jawa lewat penelitian lapangan langsung ke Jawa dan mencatat data-data historis dari orang Jawa sendiri mengenai Jawa, tempat ia hidup dan mati.
Yang juga harus disebut di sini ialah terobosan yang dilakukan Clifford Geertz dan Victor Turner. Keduanya memelopori apa yang kemudian disebut Antropologi Simbolik. Pendekatan ini berupaya memahami kultur dan peradaban suatu masyarakat lewat simbol-simbol kultural atau simbol-simbol ritual yang dimiliki masyarakat itu. Biasanya, seorang antropolog simbolik akan menemukan satu simbol kultural atau simbol ritual yang dianggap paling penting dalam suatu masyarakat, lalu, dengan satu simbol terpenting itu, ia berupaya memahami banyak manifestasi kultural dari masyarakat. Clifford Geertz, misalnya, mencoba memahami seluruh manifestasi kultural Bali dengan menemukan satu simbol kultural dan simbol ritual Bali terpenting, yaitu sabung ayam. Nampaknya, Geertz berada di jalur yang sama dengan Susanne K. Langer, yang berpendapat bahwa manusia (baik yang primitif maupun yang beradab) memiliki insting untuk menciptakan simbol-simbol yang berubah-ubah untuk kenyataan yang kian lama kian kompleks, terutama dalam bukunya Philosophy in A New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art.
Antropologi Terapan (Applied Anthropology) nampaknya lebih siap dalam mengapresiasi kultur dan peradaban asli Indonesia dibanding antropologi-antropologi lainnya. Salah satu tugasnya yang paling liberative ialah mengingatkan para industrialis akan bahaya rencana pembangunan (development planning) yang mereka lakukan terhadap penduduk asli (indigenous people). Dengan ekspertisi yang mereka miliki, para antropolog terapan berjuang di tengah-tengah penduduk asli pra-modern untuk mengingatkan kaum ‘industrialis rakus’ akan bahaya integritas masyarakat asli setempat, jika mereka tidak mengindahkan ekosistem kosmik yang melingkupi masyarakat itu. Bahkan, banyak penduduk asli yang mendapat pendidikan akademik dan menjadi antropolog terapan, sehingga ia sangat memahami tentang apa yang harus dia perjuangkan untuk menjaga integritas masyarakatnya. Misalnya, Madrah dan Karaakng, dua antropolog Dayak-Benuaq yang meneliti masyarakat mereka sendiri, yakni suku Dayak-Benuaq; Ignatius Egi Dadu adalah antropolog Rembong yang meneliti suku Rembong (Flores Barat); Abdurrauf Tarimana adalah antropolog Tolaki yang meneliti suku Tolaki (Sulawesi Tenggara); dan yang lain lagi.
Namun, kesemuanya yang disebut tadi adalah ‘Antropologi Profan’, yaitu antropologi yang diproduksi di saat masyarakat tengah mengalami modernisasi (yang ‘jantungnya’ ialah rasionalisme atau sekularisme, jika bukannya atheisme). Baik antropologi yang dikembangkan sejak EB. Tylor hingga Durkheim, Levi-Bruhl, dan Freud rupanya disusun atas dasar kritik mereka terhadap Kristianitas, sebagaimana diungkap E.E. Evans Pritchard dalam Theories of Primitive Religion:
…garis pemikiran mereka berupa keyakinan yang optimis yang dianut para filsuf rasionalistik abad delapan belas, yaitu bahwa rakyat itu bodoh dan jelek hanya karena mereka punya lembaga yang jelek, dan mereka punya lembaga-lembaga yang jelek hanya karena mereka kurang pengetahuan dan penuh takhayul, dan mereka itu kurang berpengetahuan dan takhayul karena mereka telah diperas dengan dalih agama oleh pendeta-pendeta yang licik dan tamak dan kelompok manusia gegabah yang menyolong mereka… Mereka mencari dan mendapatkan dalam agama primitif suatu senjata yang mereka kira dapat digunakan dengan akibat fatal terhadap agama Kristen. Jika agama primitif dapat diterangkan sebagai suatu penyelewengan intelektual, sebagai suatu fatamorgana yang ditimbulkan oleh tekanan perasaan, atau oleh fungsi sosialnya, maka akibatnya adalah bahwa agama-agama yang lebih tinggi dapat diperkecil artinya dan dirusak dengan cara yang sama… dorongan rasionalisme yang kuat pada masanya telah mewarnai penilaian mereka terhadap agama-agama primitif…

Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa mereka tidak mengambil, agama-agama yang lebih tinggi, yang sejarahnya, teologinya dan peribadatannya jauh lebih dikenal daripada agama-agama primitif sebagai bidang studi mereka, sehingga dengan demikian bertindak dari yang lebih dikenal kepada yang kurang dikenal. Sampai batas tertentu mungkin mereka telah mengabaikan agama-agama tinggi untuk menghindari adanya pertentangan dan rasa tersinggung dalam lingkungan yang agak rawan terhadap agama-agama itu…[23]
Sejarah Christendom Abad Gelap memang pernah dilacurkan oleh papacy yang tergoda lebih pada kejayaan duniawi daripada kejayaan ukhrawi, dan itu dapat dijadikan ‘sasaran empuk’ bagi kaum rasionalis Abad Modern untuk mengritiknya dengan keras, hingga kritikan itu memasuki segala produksi intelektual mereka, hatta dalam bidang antropologi. Maka, maklumlah, jika antropologi mereka juga bernada anti-papacy, anti-penyelewengan Gereja, dan akhirnya meremehkan agama. Pertama, mereka meremehkan agama primitif yang mereka anggap ‘asalmula’ agama mereka, lalu kemudian mereka meremehkan Kristianitas yang merupakan ‘agama tingkat tertinggi’ mereka. Di kemudian hari, konsekuensi anti-Kristiani ini melahirkan peremehan yang paling akut, yaitu peremehan atas segala kesakralan dan spiritualisme. Kita membutuhkan ‘Antropologi Sakral’ di masa ini, yang mengembalikan posisi kesakralan sebagai posisi sentral, yang mungkin ditempuh dengan cara, sebagaimana digagas Evans-Pritchard: ‘…andaikata para penulis [antropologi—FH]…telah menelaah dengan mendalam tentang, misalnya saja, teologi Kristen, sejarahnya, tafsiran kitab sucinya, apologinya, pemikiran simbolik dan peribadatannya, mereka akan jauh lebih baik dalam mengadakan penilaian terhadap ide dan pengamalan agama primitif…’[24] Tentu saja, yang dimaksudkan Evans-Pritchard bukanlah Kristianitas papacy atau Kristianitas puritanistik, tapi esensi Kristianitas yang dicontohkan dalam spiritualismenya.
‘Antropologi Sakral’ adalah kajian antropologis yang dilakukan oleh para ‘spiritualis’, yang juga disebut dengan sebutan lain yang sangat penulis setujui, Antrosofi atau Antrosophia Perennis.[25] Antropolog-antropolog sakral seperti Frithjof Schuon, Harry Oldmeadow, Charles Upton, Thomas Yellowtail, Charles Eastman, James Larking, Seyyed Hossein Nasr, Titus Burckhardt, Ananda Coomaraswamy, dan lain-lain, memandang kultur dan peradaban manusia sebagai manifestasi Yang Ilahi, sebagaimana kata Frithjof Schuon mengenai orang Indian-Amerika:
The Indian is predisposed towards the suprasensible and strives to penetrate the hard wall of the sensible world, seeks openings where he can, and finds them chiefly in phenomena themselves, which indeed, in their contents, are nothing other than signposts to the suprasensible. Things are hard-frozen melodies from the Beyond.[26]
Dengan ‘Antropologi Sakral’, integralitas dan kepenuhan manifestasi Sang Ilahi dalam kultur dan peradaban manusia Indonesia dapat dipahami secara penuh, integral, menyeluruh. Mitologi-mitologi masyarakat asli Indonesia, misalnya, tidak lagi dipahami sebagai ‘penyakit bahasa’ (oleh Max Muller), ‘ilusi masyarakat’ (oleh Durkheim), ‘candu masyarakat’ (oleh Marx), atau ‘penyakit jiwa masyarakat’ (oleh Freud), tapi, sebagaimana yang sangat tepat dijelaskan oleh Ananda Coomaraswamy:
The myth is the penultimate truth, of which all experience is the temporal reflection. The mythical narrative is of timeless and placeless validity, true nowhere and everywhere… Myth embodies the nearest approach to absolute truth that can be stated in words.[27]
Dengan ‘Antropologi Sakral’ pula, kita dapat memahami secara lebih baik dan lebih fair perihal kultur dan peradaban asli kita, yang disebut secara kolektif sebagai Adat. Dengan pendekatan kesakralan yang integral ini, adat tidak lagi dipahami sebagai peradaban dan kultur ‘orang biadab’, ‘orang liar yang dungu’, ‘orang yang tak mengenal agama’, ‘orang yang agamanya cuma persiapan bagi agama selanjutnya yang lebih tinggi’, tapi dipahami sebagai manifestasi Yang Ilahi, yang tidak kurang dan tidak lebih nilainya dari seluruh kultur dan peradaban spiritual lainnya di belahan Dunia manapun.

Kajian Antropologi atas Seni Suku Asli
Salah satu kajian penting yang diproduksi ‘Antrolopologi Sakral’ ialah apa yang disebut ‘Seni Sakral’. Seni penduduk Indonesia asli, tidak mungkin dipahami secara baik oleh ‘Antropologi Profan’, sebagaimana yang telah kita tunjukkan dalam Bab 3. Para antropolog profan memang meneliti pula seni penduduk asli dalam kajian-kajian antropologis yang mereka ciptaan, namun lantaran keprofanan kajian mereka tersebut, aspek-aspek sakral nyaris tidak tersentuh. Franz Boas menulis Primitive Art, HG. Rawlinson menulis Indian Art, Daniel Shapiro menulis Western Artists/African Art, dan banyak lagi tulisan-tulisan lainnya, tapi, sekali lagi, tulisan-tulisan tersebut gagal memahami dengan baik kesakralan seni-seni tersebut. Sebaliknya, para antropolog sakral yang menulis kajian seni penduduk asli, seperti Titus Burckhardt yang menulis Sacred Art in East and West dan Art of Islam, Ananda K. Coomaraswamy yang menulis The Dance of Shiva, History of Indian and Indonesian Art, dan The Christian and Oriental, or True, Philosophy of Art, Adrain Snodgrass menulis Symbolism of the Stupa, Rene Guenon menulis Symbolism of the Cross, Timothy Scott menulis Symbolism of the Ark, dan lain sebagainya, lantaran spiritualisme yang mereka anut, tentunya berhasil menghadirkan kesakralan asli dari seni penduduk asli, termasuk seni asli Indonesia.
Seni Indonesia asli, sebagaimana diungkapkan Romo Mangunwijaya saat berbicara tentang seni sastra Indonesia asli, ‘Pada Awal Mula, Segala Sastra Adalah Religius.’[28] Seni asli Indonesia lahir dari kultur dan peradaban asli Indonesia yang tidak mengenal ‘sekularisme’. Ia lahir dari kultur dan peradaban kosmik, di mana sekularisme Kosmos belum juga dikenal. Realitas masih bulat, satu, menyeluruh. Realitas masih tremendum, sacrum, fascinasum, sanctum. Di mana Sains, Filsafat, Spiritualitas, Seni, Kultur, Peradaban, Teknik masih berpadu dalam naungan Kesakralan. Karenanya, ‘Seni Profan’ tidak akan memahaminya secara menyeluruh, kecuali segi-segi profannya saja. Itu disebabkan, karena ‘Seni Profan’ telah ‘mensekularisasi’ realitas, sehingga gambaran yang ia proyeksikan hanya gambaran parsial dari keseluruhan realitas, yaitu gambaran profannya saja. Bila dibandingkan dengan ‘Seni Sakral’, maka ‘Seni Profan’ telah dimiskinkan (oleh motif utamanya yang lebih memilih parsialitas profan daripada universalitas sakral), karena:
Sacred art is made as a vehicle for spiritual presences, it is made at one and the same time for God, for angels and for man; profane art on the other hand exists only for man and by that very fact betrays him.[29]
Para antropolog profan, karena anti-spiritualisme dan over-rasionalisme mereka, tentu saja tidak mungkin mengapresiasi ‘Seni Sakral’ yang dipunyai penduduk asli. Paling banter, seni penduduk asli hanya diapresiasi sebagai ‘ritual magis dan mantera-mantera orang primitif…’ yang ‘…secara psikologis berhubungan dengan perbuatan-perbuatan kesurupan… yang…neurotik’ (oleh Freud).[30] Atau, seni tari penduduk asli sekadar dianggap sebagai tarian-tarian yang ‘…memberikan latihan fisik yang luar biasa, meningkatkan semangat kerja sama, dan merupakan sejenis senam’ (oleh Carveth Read).[31] Atau, seni dalam masyarakat primitif sekadar dianggap sebagai sesuatu yang ‘…mengikat anggota-anggota klan menjadi satu…’ dan ‘…memperbaharui rasa solidaritas pada mereka…’, serta ‘…membangkitkan kegairahan, di mana semua kesadaran individualitas lenyap dan semua orang merasa dirinya sabagai satu kolektivitas…’ (oleh Durkheim).[32]
Hanya ‘Antropologi Sakral’ yang mampu secara baik memahami seni penduduk asli, sebab seni penduduk asli dipahami antropolog sakral sebagai seni yang ‘…in reality simply serves to restore to natural phenomena their divine messages, to which men have become insensitive.’ (oleh Schuon)[33] atau seni yang ‘…account[s] spiritually, as meaningful activities which by virtue of [its] inherent symbolism harbor[s] a doctrinal message, and above all as support for spiritual realization and means of grace.’ (oleh Titus).[34]
Bagaimana mungkin ‘Antropologi Profan’ mengapresiasi seni asli Indonesia yang sakral-spiritual, seperti seni suara dalam nyanyian mitologis suku Tolaki, seni sastra dalam Serat Centhini dan Serat Cabolek, Kakawin Sutasoma, atau Sya’ir Unggas dan Sya’ir Perahu, seni tari dalam Tortor Tunggal Penaluan suku Batak, Reog orang Ponorogo, Kecak dan Barong suku Bali, Kuda Lumping suku Jawa, Saman orang Aceh, seni pertunjukan dalam Wayang suku Jawa dan Debus orang Banten, seni pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, Toleruno di daerah Sentani, Korwar di daerah Biak, seni pahat dan ukiran suku Kalimantan, seni arsitektur rumah Toraja dan seni perahu suku Lampung? Seni yang menggelikan? Seni yang tidak indah? Seni kekanak-kanakan? Seninya orang yang terjangkit neurosis? Seni yang sekadar menopang struktur sosial yang ada?
‘Antropologi Profan’, juga disiplin derivatifnya, ‘Seni Profan’, hanya memandang aspek profan dari segala produk artistik suku asli Indonesia. Produk pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, misalnya, tidak lagi dipahami menyeluruh sebagai ekspresi kesakralan masyarakat yang memuja kesakralan leluhur, tapi dipahami sekadar komoditas komersial yang dapat dijual dan dibeli dengan ukuran harga tinggi.[35] Tari Tunggal Penaluan suku Batak juga tidakkan dipahami lagi sebagai tarian pemanggil kekuatan gaib dan penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, tapi sekadar dipahami sebagai tari eksotik penyambut turis-turis asing dan penjemput devisa di bidang pariwisata.[36] Begitu pula seni-seni lain dari penduduk asli Indonesia, tidak akan dipahami secara sakral, tapi seluruhnya dipahami secara profan: dari nilai komersial dan keuntungan material.
Terhadap produk seni asli pra-modern, ‘Seni Profan’ memperlakukannya sebagai komoditas, sedangkan terhadap produk seni modern, bagaimana ‘Seni Profan’ memperlakukannya? Tidak jauh berbeda dengan produk seni pra-modern: komoditas belaka, tidak lebih. Semakin indah, semakin mahal. Tapi, apa kriteria atau ukuran yang dipakai untuk menyebut sesuatu sebagai ‘indah’ dan ‘tidak-indah’? Tentu saja, kriteria yang dipakai ‘Seni Profan’ dan ‘Seni Sakral’ berbeda. Untuk menjelaskan masalah kriteria ini, kita memerlukan tinjauan Estetika atau Philosophy of Art. Estetika yang dipakai ‘Seni Profan’ tentu saja berbeda dari Estetika ‘Seni Sakral’.
‘Estetika Profan’ menganggap sesuatu sebagai ‘indah’, apabila sesuatu itu dapat memuaskan citarasa sebatas mata atau telinga. Jika mata menangkap kesan-kesan optik yang menyenangkan penglihatannya, maka sesuatu itu ‘indah’. Jika telinga menangkap gelombang suara yang dapat menyenangkan pendengaran, maka sesuatu itu ‘indah’. Penilaian sesuatu sebagai ‘indah’ hanya berhenti pada penyenangan inderawi, tidak lebih dari itu. Sementara, ‘Estetika Sakral’ menganggap sesuatu sebagai ‘indah’ bukan karena sesuatu itu sendiri ada, tapi karena sesuatu itu ada untuk melayani tujuan yang tertinggi, yaitu kebaktian kepada Yang Ilahi.
Para kawi zaman dahulu memakai kata kalangwan atau langö. Menurut professor Zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya akan istilah-istilah untuk mengungkapkan pengalaman estetik itu seperti bahasa Jawa Kuno. Bahkan dalam kalangan para penyair itu keindahan dan pengalaman estetik dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari surga, yang pantas disambut dengan sikap religius dan kebaktian, “a real cult of beauty”, bahkan membuat seni, menggubah sebuah syair dianggap sebagai suatu tindak kebaktian.[37]
Karena itu, walaupun secara inderawiah bentuk pahatan dan ukiran patung Mbis ‘jelek’, karena tidak halus, tidak teratur, tidak dibuat dengan alat-alat yang modern, terkesan ‘jorok’, tidak terpelajar, tidak akademis, tapi karena dapat mengantarkan manusia Asmat untuk mengatasi ‘yang inderawi’ dan mencapai ‘yang meta-inderawi’, maka patung tersebut dinilai ‘indah’.
Jika ‘Seni Profan’ mengambil Alam sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir semata-mata Naturalisme. Sebaliknya, jika ‘Seni Sakral’ mengambil Alam sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir bukanlah Naturalisme, tapi ‘Arketipisme Alam’. Alam dipahami ‘Seni Sakral’ sebagai Arketip (Archetype) atau Simbol atau Gambar atau Manifestasi Ilahi. Alam sebagai Manifestasi Ilahi diungkap sangat baik dalam hadits kaum Islam: Inna’l-lâhha Jamîlun, yuhibbu’l-jamâl’ (Sesungguhnya Ilahi itu Indah; Ia menyukai Keindahan). Segala hal alamiah yang indah merupakan manifestasi Keindahan Ilahi. Gambar bulan dan matahari dalam pahatan Mbis, misalnya, bukanlah mengekspresikan fenomena bulan dan matahari yang sempat ditangkap oleh mata telanjang manusia Asmat, tapi merepresentasikan Yang Ilahi.[38] Jika ‘Seni Profan’ mengambil Manusia sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir semata-mata Naturalisme (yang dalam bentuknya yang paling vulgar menjadi Pornografi atau ‘Kultus Keindahan Sempurna Fisikal’). Sebaliknya, jika ‘Seni Sakral’ mengambil Manusia sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir bukanlah Naturalisme, tapi lagi-lagi ‘Arketipisme Manusia’. Manusia adalah Arketip atau Manifestasi Ilahi. Gambar wajah-wajah leluhur yang dipahat pada pahatan suku Asmat, misalnya, bukanlah semata-mata dibuat untuk menirukan wajah fisikalnya, tapi untuk membangun hubungan antara ‘yang sementara’ dan ‘yang abadi’.[39]
Manusia Adat menciptakan peradaban dan kultur sakral, yang dimaksudkan bukan hanya memuja-memuji Tuhan, tapi juga melahirkan suatu ‘estetika sakral’—ungkapan artistik yang membawa Keindahan Ilahi ‘keluar’ dalam bentuk penciptaan-penciptaan yang indah, seperti arsitektur rumah, instrumen musik, musik, pakaian dan motifnya, senjata dan motifnya, patung-patung, seni visual, dan lain-lain. Tapi, selain berfungsi sebagai ekspresi manusia akan Keindahan Ilahi, ‘estetika sakral’ itu juga berfungsi sebagai tugu, monumen, pengingat akan Keberadaan Ilahi.
Genderang perunggu (nekara) yang dibuat manusia primitif Indonesia, dihiasi dengan gambar estetik yang merupakan simbol-simbol sakral, buatan imajinasi sakral manusia Indonesia. Genderang perunggu yang ditemukan di Babakan, di Selayar dan di Pejeng, seluruhnya dihias dengan gambar simbolik yang sama: burung pelikan atau bangau Cina. Burung pelikan adalah simbol Yang Ilahi; sesuatu yang terbang di Langit, berasal dari Langit, tempat dimana Yang Ilahi berada. Simbol itu sengaja digambar di atas genderang perunggu, karena sesuai dengan fungsi genderang itu, yaitu, ditabuh dan dipukul dalam upacara ‘minta hujan’. Hujan berasal dari atas, dari Langit, dan burung pelikan adalah ‘Burung Sakral’ dari Langit, yang dapat menyampaikan kepada Tuhan Di Langit untuk mengabulkan permohonan manusia di bumi, dengan menurunkan hujan, yang membawa kesuburan bumi.[40]
Di atas genderang perunggu Pejeng yang bulat-bundar juga dihiasi di tengah-tengahnya dengan gambar bintang segi-duabelas yang di sekelilingnya terdapat gambar sesuatu berbentuk huruf ‘’S’’. Bintang segi-duabelas merupakan simbol ‘Cahaya’, ‘Sinar Primordial’. Letaknya yang di tengah-tengah genderang berarti ‘Sinar Pusat’, ‘Pusat Cahaya’. Sedangkan sesuatu berbentuk huruf ‘’S’’, menurut tafsiran Jakob Sumardjo, merupakan gabungan antara bentuk lingkaran sebagai simbol ‘perempuan’ dengan batangan lurus sebagai simbol ‘lelaki’. Jadi, huruf “S” adalah simbol perpaduan ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, ‘harmoni totalitas keberadaan yang saling beroposisi’, ‘keselarasan semesta’, atau ‘kehidupan’.[41] Letaknya yang di sekeliling bintang segi-dua belas berarti, bahwa ‘Pusat Cahaya’ memancarkan Sinar-Sinarnya berupa Kosmos atau Kehidupan di sekelilingNya: simbol Emanasi Ilahi.
Simbol ‘keselarasan kosmik dari unsur-unsur yang saling beroposisi’ bukan hanya terdapat pada genderang perunggu pra-sejarah, tapi juga terdapat pada motif kain-kain tenun, bejana perunggu, bejana batu, tongkat kayu, ukiran-ukiran kayu, perisai-perisai, batu-batu nisan, sisir rambut, serta perhiasan-perhiasan anting dan kalung. Simbol tersebut bukan hanya digambarkan dengan suatu berbentuk huruf “S”, tapi juga berbentuk piramidal (huruf “V” terbalik), bulatan-bulatan, persegi-persegi empat, yang digambar saling berselang-seling, yang berarti oposisi-oposisi biner, keanekaragaman wujud, yang tertata rapi dalam kosmos yang harmonis.
Gambar ‘perahu’ juga sering digambarkan pada arsitektur rumah di Toraja, rumah-rumahan perahu yang dilabuhkan ke laut pada upacara Labuhan di Jawa, Sunda dan Bali, kain-kain tenun di Lampung, bejana air di Minangkabau, hiasan kepala perempuan Lampung, ukiran kayu di Irian Jaya, perahu kayu di Batak-Karo, perahu kayu dan ukiran-ukiran kayu Beaju-Dayak, ukiran kayu di Alor, motif perahu pada batu nisan di Pulau Tanimbar, dan lain-lain, karena ‘perahu’ dipahami sebagai simbol kendaraan menuju ‘Alam Ruh’. Setiap orang mati, ruhnya akan berpindah ke ‘Lautan Ruh’, yang diantar dengan ‘Perahu’. Karena itu pulalah, orang Toraja menyebut keranda mereka dengan prau.
‘Estetika sakral’ bukan hanya diekspresikan dalam bentuk benda-benda material, tapi juga dalam bentuk seni literer. Mitologi-mitologi asal-mula semesta (myths of origin) diekspresikan dalam bentuk nyanyian-nyanyian indah yang diiringi dengan musik-musik. Karya-karya puitik yang bertema sakral pun banyak dihasilkan. Orang Jawa menghasilkan kakawin, yakni ‘puisi-puisi dewa’. Disebut demikian, karena puisi-puisi itu ditulis dengan tuntunan inspirasi dari Dewa-Dewa Vishnu, Shiva, Kama, Ratih atau Sarasvati, yang mereka percayai ‘turun’ ke pena-pena penyair untuk menuliskan puisi-puisi sakral.[42] Hamzah Al-Fansuri menulis puisi-puisi Melayu yang amat rhymic, dengan tema-tema sufistik yang kental. Ki Ageng Selo dan penyair-penyair Jawa lainnya, menulis Serat-Serat, Suluk-Suluk, Pepali-Pepali, yakni puisi-puisi ala Jawa yang mengambil tema-tema spiritual-esoterik.
Kemaluan manusia yang dijadikan obyek seni, baik dalam ‘Seni Profan’ dan ‘Seni Sakral’, tentu saja dimaknai masing-masing secara berbeda. Gambar kemaluan lelaki yang dipahat pada pahatan Mbis suku Asmat, misalnya, dipahami sebagai lambang ‘kesuburan’: ‘Langit’ (yang dilambangkan dengan kemaluan lelaki) menurunkan hujan ke ‘Dunia’ (yang dilambangkan dengan kemaluan wanita) dan menyuburkannya, sehingga lahirlah tetumbuhan. Sebaliknya, dalam ‘Seni Profan’ gambar kemaluan hanya dipahami sebagai semata kemaluan, alat seksual, alat reproduksi. Seni sastra dalam ‘Seni Profan’ juga ‘dangkal’ dalam menggambarkan kemaluan. Kemaluan hanya digambarkannya untuk menimbulkan efek-efek seksual yang orgasmik dan orgiastik, sedangkan dalam ‘Seni Sakral’, kemaluan digambarkan lagi-lagi sebagai simbol berkarakter spiritual. Ronggowarsito, dalam Serat Wirid Hidayat Jati, mengambil kemaluan lelaki (yang disebutnya konthol Adam) sebagai obyek, yang dapat mengantarkan manusia menuju pemahaman spiritual akan Yang Ilahi.
Sesungguhnya Aku (di sini berarti Tuhan—FH) mempersiapkan sebuah mahligai di dalam Baitul Muqaddas, yaitu rumah tempat persucianKu, terdirikan dalam kantong kemaluan manusia. Yang ada dalam kemaluan itu pringsilan; di dalam pringsilan ada mani, dalam mani ada madi, dalam madi ada wadi, dalam wadi ada manikam, dalam manikam ada rasa. Dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya. Maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan Kamil, yakni manusia yang sempurna, yakni sifat Aku.[43]
Dalam seni Yunani-Kuno, Priapus digambarkan sebagai dewa yang berkemaluan besar sekali: simbol kesuburan. Bahkan, orang Yunani-Kuno membangun suatu monumen berbentuk kemaluan lelaki (phallus) setinggi 54 meter di depan Kuil Afrodisia, untuk menyembah Afrodisia (Dewi Cinta), Dionysus (Dewa Kesenangan Memabukkan), dan Priapus (Dewa Kesuburan). Orang Funisia juga melambangkan Adonis (Dewa Penyubur Tetumbuhan) dengan lambang kemaluan lelaki (phallus). Dalam seni India, kemaluan lelaki (lingam) dan kemaluan wanita (yoni) merupakan simbol kemahapenciptaan Syiwa. Raja Sanjaya di Kerajaan Mataram Hindu pernah mendirikan pada tahun 730 M, di Muntilan, Jawa Tengah, sebuah bangunan berbentuk linga untuk Syiwa. Selain untuk memuja Syiwa, bangunan linga ini juga berfungsi sebagai tempat pemakaman, yang menurutnya, akan memungkinkannya menyatu dengan Syiwa.[44]
Tapi, bagaimana lingam atau phallus kini dimaknai oleh ‘Seni Profan’? Mungkin, tidak akan lebih jauh daripada sekadar dildo! Gatholoco, suatu naskah sastra sakral dari Jawa pun akan dimaknai semata-mata sebagai ‘masturbasi’: Gatho (Ujung yang Rahasia, Penis) dan Loco (Dirancap-rancap). Dewi Lupitwati, yang merupakan lawan dialog tokoh utama bernama Gatholoco, juga akan dimaknai secara literal-fisikal sebagai ‘adegan senggama’: Lu atau Alu (Penis), Pit (Dijepit), Wati (Vagina), dan Dewi Prejiwati semata-mata dipahami sebagai ‘pusat vagina’: Preji (Biji) dan Wati (Vagina).[45] Pendangkalan-pendangkalan makna inilah yang hendak dilawan oleh ‘Seni Sakral’ terhadap ‘Seni Profan’.


CATATAN-CATATAN
[1] Tulisan ini pada mulanya merupakan salah satu bab dari buku kami, Adat Sebenar Adat: Respiritualisasi Adat Nusantara, namun direvisi untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Bab lainnya “Seni Sakral dan Seni Profan” yang semestinya terpisah dalam bab tersendiri, justru disambung dalam tulisan ini. Itu disebabkan karena dua bab tersebut memiliki tema yang saling berkaitan—Penulis.

[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005), cet-3, hal. 1-4

[3] Pembagian antara spirit (roh, jiwa) dan body (tubuh) lahir dari peradaban luar, bukannya asli Indonesia.

[4] Istilah ini berasal dari tradisi Barat, yang berarti ‘masyarakat termula’. Itu dikarenakan orang Barat percaya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat pendahulu mereka, sejenis masyarakat yang lahir mula-mula, yang lahir di awal sejarah orang Barat. Istilah yang pada mulanya netral dan menunjuk pada titik historis awal masyarakat Barat ini lalu berubah menjadi bermakna ejekan.

[5] Sir James George Frazer, The Golden Bough, Chapter XXIII, edisi online diterbitkan oleh http://www.gutenbergproject.org/ dan http://en.wikibooks.org/wiki/The_Golden_Bough.

[6] E.E. Evans-Pritchard, Theories of Primitive Religion, terj. Indonesia oleh Tim PL2PM, (Yogyakarta: PL2PM, 1984), hal. 11-12

[7] J. van Baal, Geschiedenis en Groei van de Theorie der Culturele Anthropologie (tot ± 1970), terj. Indonesia oleh J. Piry, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1987), hal. 136

[8] Ibid., hal. 161; Bdk. Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1993), cet-2, hal. 16-17

[9] Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, hal. 15-16

[10] Ibid., hal. 28-29

[11] Marco Polo, The Travels, terj. Inggris oleh Ronald Latham, (England & New York: Penguin Books, 1978), cet-8, hal. 251-257.
[12] N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal. 27
[13] Ibid., hal. 74

[14] Ibid., hal. 10

[15] Charles R. Watson, ‘The Moslem of Sumatra as A Type’, dalam The Moslem World, Vol.III, No.2, April 1913, hal. 159-161

[16] JWM. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), cet-2, hal. 44-45.

[17] Chinua Achebe, Things Fall Apart, terj. Indonesia oleh Tim PSH, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), hal. 160

[18] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), cet-15, hal. 43-61

[19] JWM. Bakker, Agama Asli Indonesia, hal. 38
[20] J. van Baal, Geschiedenis en Groei van de Theorie der Culturele Anthropologie (tot ± 1970), hal. 91
[21] Ibid., hal. 165-167
[22] Istilah ‘reduksionisme’ tentu saja tidak akan ditemukan dalam buku-buku teks standar antropologi. Istilah itu dibuat oleh kaum agamawan Kristiani untuk mengritik pendekatan-pendekatan antropolog ‘sekuler’ yang menganggap agama atau religi sebagai hanya satu unsur kecil dari unsur yang lebih besar yang disebut dengan berbagai nama. Emile Durkheim memahami ‘agama’ sebagai hanya suatu sistem yang berfungsi dalam struktur sosial masyarakat yang lebih besar; Sigmund Freud memahami ‘agama’ sebagai penyakit jiwa (neurosis) dalam suatu struktur masyarakat; Karl Marx memahami ‘agama’ sekadar akibat dari sebab-sebab ketegangan ekonomis dalam dualisme modal-kerja; Levy-Bruhl menganggap ‘agama’ sekadar struktur mental primitif di antara struktur-struktur primitif yang lain.
[23] E.E. Evans-Pritchard, Theories of Primitive Religion), hal.19-21
[24] Ibid., hal. 21-22
[25] Sebutan ‘Antrosophia Perennis’ diambil dari judul buku terjemahan Indonesia dari karya Frithjof Schuon berjudul The Transfiguration of Man yang diterbitkan oleh Penerbit Qalam. Penerbit tersebut memberi judul yang berbeda dari judul aslinya, yaitu Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perenialis.
[26] Dikutip oleh Harry Oldmeadow dalam artikelnya “Melodies from The Beyond”: Australian Aboriginal Religion in Schuonian Perspective”, dalam http://www.religioperennis.org/
[27] Ibid.
[28] YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982), hal. 11
[29] Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives and Human Facts, (London: Perennial Books, 1987), hal.31

[30] E.E. Evans-Pritchard, Theories of Primitive Religion, hal. 53
[31] Ibid., hal. 52
[32] Ibid., hal. 81
[33] Frithjof Schuon, ‘Religio Perennis’, dalam situs http://www.religioperennis.org/

[34] William Stoddart, ‘Titus Burckhardt and the Perennialist School’, dalam situs http://www.religioperennis.org/

[35] Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1980/1981), hal.2

[36] Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), hal. 61-63
[37] Dick Hartoko, Manusia dan Seni, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), cet-2, hal. 16
[38] Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, hal. 59
[39] Ibid., hal. 37
[40] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hal. 116-119
[41] Ibid., hal. 120
[42] Dick Hartoko, Manusia dan Seni, hal. 78-80
[43] Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1971), hal. 43
[44] J. Larope, IPS Sejarah, hal. 26.
[45] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, hal. 329-340

Selasa, Desember 30, 2008

Siti Jenar Dianggap Provokator Kesadaran
-------------------------------------------
Wawancara Syaiful Arief Dengan Mas Agus Sunyoto
21/05/2007
Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.
Historisitas sosok Syekh Siti Jenar yang banyak dimitoskan orang kini pelan-pelan terkuak. Beberapa penelitian serius telah menyingkap sosok dan aspek-aspek ajarannya. Benarkah ia sosok yang murtad dari sudut pandang agama? Selasa lalu (15/5) Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berbincang-bincang dengan Agus Sunyoto, penulis tujuh jilid buku fiksi sejarah tentang tokoh kontroversial tersebut.
Mas Agus, bagaimana riwayat ketertarikan Anda meneliti sosok Syekh Siti Jenar?
Kakek saya dari pihak ibu adalah orang Jombang. Dia mengaku orang yang mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ketika saya tanya darimana memperoleh pengetahuan itu, dia jawab, ”Lho, saya kan santri Tebu Ireng angkatan pertama!” Dia meninggal tahun 1995 dalam usia 105 tahun. Satu-satunya guru yang dia ikuti ajarannya sampai saat itu adalah almarhum KH Hasyim Asyari. ”Berarti Mbah Hasyim mengajarkan soal ini, dong?” tanya saya. ”Lha, iya!” katanya. Saya berpikir, darimana dia dapat itu kalau bukan dari Mbah Hasyim langsung. Tapi saya masih ragu: masak Mbah Hasyim mengajarkan itu?! Dari beberapa sumber lain, saya mendapat jawaban yang sama. Jadi saya berkesimpulan bahwa benar bahwa Mbah Hasyim mengajarkan itu.
Apakah ajaran-ajaran Siti Jenar masih berjejak dalam masyarakat Jawa saat ini?
Ada. Itu terlihat dari adanya guru-guru tarekat atau kebatinanan dari kalangan pribumi. Sebelum Siti Jenar, masyarakat pribumi tidak boleh menjadi guru (tarekat). Setelah itu baru boleh.
Unsur-unsur apa dari ajaran Siti Jenar yang masih tampak dalam tarekat yang mengklaim tersambung dengan dirinya?
Dalam hal egalitaranisme. Mereka egaliter sekali. Tarekat mereka tidak mengenal adanya mursyid-mursyid yang diagungkan. Kalau mereka berdiskusi soal-soal teologis, maka kedudukan guru tidak ada sama sekali. Semua orang adalah lawan bicara. Jadi tidak ada kultus mursyid. Ciri lainnya, cara mereka menuju Tuhan sangat individualistik. Toh, Nabi Muhammad ketemu Tuhan dengan cara sendirian di Gua Hira. Mereka tidak rame-rame. Kalau dilakukan rame-rame, itu namanya demonstrasi, bukan mencari Tuhan. Ketiga, masing-masing pengikut tarekat ini tidak saling kenal, dan ajaran-ajarannya disampaikan secara rahasia.
Doktrin apa yang tampak paling mencolok dari tarekat mereka?
Yang utama soal tauhid. Pemahaman tentang ini agak beda dengan pemahaman awam. Tuhan bagi mereka adalah sesuatu yang tidak terdefenisikan. Laitsa kamitslihi syai’un atau Dia adalah yang tidak bisa digambarkan. Siti Jenar juga mengatakan bahwa ke-99 sifat Tuhan di dalam asma’ul husna itu juga ada potensi-potensinya dalam diri semua manusia.
Manusia punya sifat sabar, karena Allah punya sifat as-Shabûr (Mahasabar). Manusia sombong karena memang ada sifat al-mutakabbir (Mahasombong) pada Allah. Ada juga sifat ad-Dhâr, Yang Maha membuat bahaya. Lah, manusia itu kan seringkali melakukan hal yang membahayakan orang lain maupun dirinya. Jadi, bagi Siti Jenar, tanpa adanya manusia, tidak ada asma’ul husna, karena dia juga mengejawantah di dalam diri manusia.
Pandangan teologis Siti Jenar itu qadariyah, jabariyah, atau apa?
Tidak itu semua. Bagi dia, orang yang mengamalkan ajarannya haruslah hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari situ dapat dibuktikan bagaimana citra insan kamil (manusia sempurna) itu mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan. Artinya, manusia adalah cerminan Tuhan. Karena itu, manusia harus mengamalkan watak as-Shabûr, al-`Âdil, al-Hakîm, dan watak-watak Tuhan lainnya.
Siti Jenar punya struktur berpikir yang sederhana. Misalnya dia bicara soal al-khâliq, Mahapencipta atau Sang Pencipta. Kata ini terdiri dari tiga huruf: kha’, lam, qaf. Dari kata khâliq itu justru ada ciptaan atau al-khalq. Jadi ada pencipta dan ada ciptaan. Karena itu, munculnya khalq atau ciptaan berasal dari kha-la-qa dan al-khâliq. Hurufnya masih sama: kha’, lam, dan qaf. Nah, bagaimana cara si khalq menuju khâliq?
Ada perantara bernama khuluq, budi pekerti. Khuluq-nya siapa? Khuluq yang karim (budi pekerti yang mulia). Semakin seseorang tak bisa mengejawantahkan khuluq itu, makin jauh dia dari Tuhan. Kalau khuluq-nya jelek, ya mesti jauh dari khâliq. Kalau mau dekat, ya harus mencerminkan perilakunya sang khâliq.
Apa standar khuluq-nya di situ?
Ya, perbutan sehari-hari. Ritual salat misalnya, (yang penting) efeknya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (menjauhkan dari perbuaran keji dan munkar, Red). Khuluq itu ada dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, orang tidak boleh mengasingkan diri dari kehidupan dan masyarakat. Khairun nas anfa`uhum lin nas (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Red). Makin banyak manfaatnya akan makin bagus; makin mulia. Makin banyak mudaratnya, makin jelek orangnya.
Lalu fungsi ritual agama seperti apa?
Kalau kembali ke syariat, satu-satunya agama yang mensyaratkan uji empiris adalah Islam. Semuanya empiris, dan yang tidak empiris tidak diakui. Orang yang beriman harus jelas: diyakini di dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan. Pengujinya apa? Perbutan! Kalau ucapanmu tak sesuai dengan tindakanmu, maka stempelmu adalah munafik. Itu empiris! Jadi, dasar pertama adalah uji empiris. Sampai menyangkut soal salat. Untuk menandai kamu Islam, ya salat. As-salâtu `imadud dîn, salat itu tiang agama. Jadi, ujinya empiris.
Lantas di mana titik polemis antara Siti Jenar dengan para wali lainnya?
Memang tidak ada (dalam soal itu). Tapi Siti Jenar juga mengajarkan unsur tarekat yang di dalamnya terkandung pengetahuan-pengetahuan spiritual. Yang namanya spiritualitas itu kan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Sementara, bagi ulama yang berpikiran fiqih atau syariat-sentris, pengalaman spiritual itu bersifat sangat pribadi. Bagaimana membuktikannya?!
Kalau sudah fana ketemu Tuhan, apa tandanya? Karena itu, susah memahami ungkapan sosok seperti al-Hallaj, wamâ fî jubbatî illalLâh, tidak ada lain dalam jubahku kecuali Allah. Atau ungkapan anal haq! (akulah Sang Kebenaran) dan ungkapan lainnya. Semua itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Makanya, itu dianggap salah. Karena standar ujinya empirisisme.
Apa beda teori penciptaan Siti Jenar dengan teori pancaran atau emanasi (nazariyyatul faidl) dari Ibu Sina?
Dalam pandangan Siti Jenar, munculnya segala makhluk berasal dari itu tadi: khâliq menjadi khalq. Kemudian ada juga istilah ma`bûd (sembahan) dengan `âbid (penyembah). Hurufnya sama. Bagi Siti Jenar, ada tuan dan ada hamba. Di antara keduanya ada yang bernama `ibâd (kawulo). Dari sini juga muncul kata ibadah. Jadi, hubungannya lurus; harus lurus. Kalau hubungan `ibâd dengan ma`bûd makin tidak lurus, itulah yang dinamakan bid’ah.
Jadi, bid’ah tak dimaknai sebagai sesuatu yang ditambahi-tambahi dalam agama. Standarnya tidak fikih. Kalau sesuatu menyimpang dari tauhid, itu baru bid’ah. Kalau orang melakukan ibadah, misalnya sedekah, untuk pamer-pamer, bukan untuk ma`bûd-nya, itu bid’ah, pamer! Ayo tivi, shooting saya yang nyantuni anak yatim! Itu bid’ah namanya. Itulah pemaknaan Siti Jenar.
Untuk memperantarai hubungan khâliq dengan khalq, ada konsep nur muhammad. Anda memaknainya sebagai ”cahaya yang terpuji”, bukan cahaya Nabi Muhammad. Mengapa?
Itu pemaknaan Siti Jenar. Nama muhammad itu kan terhitung baru. Sebelum Islam, tak ada orang Arab bernama Muhammad. Dan yang menyampaikan konsep nur muhammad juga bukan Nabi Muhammad. Ini konsep perantara untuk penciptaan awal. Nur muhammad inilah yang oleh Siti Jenar dianggap sebagai cara pemunculan hakikat muhammadiyah.
Ceritanya begini. Taruhlah nur muhammad itu biji nangka yang sudah ada konsep buah, daun, batang, dan lainnya. Itu sudah ada. Tapi dia dibungkus dalam biji nangka. Nah, hakeket muhammadiyah baru ada kalau buah itu ditanam, tumbuh, dan betul-betul menunjukkan ada konsep daun, batang, akar, dan lain sebagainya. Jadi, konsep nur muhammad itu tidak bermakna eksklusif bahwa penciptaan harus lewat jalur Nabi Muhammad. Menurut Siti Jenar, seluruh makhluk, apapun agama dan jenisnya, berasal dari konsep nur muhammad itu.
Bagaimana sikap Siti Jenar terhadap keragaman budaya lokal di Jawa?
Dia justru mengakomodasi itu semua. Karena itu, terhadap agama Kapitayan, agama tauhid pra-Hindu, dia langsung ambil-alih. Bagi dia, untuk menyebarkan Islam, ini sama saja. Tapi dia juga memodifikasi. Kalau untuk menyembah Tuhan, bagi dia tak usah pakai istilah salat. Sebab, agama Kapitayan sudah pakai istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi artinya dewa.
Bagaimana memodifikasi Hyang sebagai dewa jadi Hyang sebagai Allah?
Begini! Ajaran Kapitayan itu memuja dewa utama bernama Sang Hyang Toyo. Dalam bahasa Jawi, Toyo itu berarti kosong, hampa, suwung. Dia tan kena kinaya; tak bisa diapa-apakan. Dinalar nggak bisa, dilihat nggak bisa, didefenisikan juga nggak bisa. Itu sama dengan ungkapan laitsa kamitslihi syai’un. Nah, kalau begitu, bagaimana orang bisa tahu Sang Hyang Toyo kalau Dia tidak bisa didefenisikan?
Dalam Kapitayan disebutkan, Dia muncul dalam bentuk pribadi yang disebut tu atau to. Artinya kekuatan yang punya daya sakti. Daya sakti dari kekuatan Hyang Toyo inilah yang sudah dikenal sifatnya. Ada dua sifat, yaitu baik dan buruk. Sifat baik disebut tu, lalu menjadi Tuhan; sementara yang jelek disebut hantu. Karena itu, dalam asumsinya orang-orang, hantu mesti jelek, dan Tuhan mesti baik. Itu dari Kapitayan dan bahasa Kawi.
Tapi orang juga mikir, di mana tempatnya Sang Hyang, yaitu hantu dan tuhan ini? Wong dia juga masih abstrak dan hanya ada sifatnya! Lalu diyakini, tu bisa muncul pada sesuatu. Sesuatu yang disebut tu: watu, tugu, tuban (air terjun), tuk (mata air), tunggul, tunggak, tumbak, tulang. Semua ada di situ dalam bentuk kekuatannya.
Bagaimana membedakannya dengan paham animisme, misalnya?
Beda. Ini sesuatu yang dianggap ada rohnya. Kalau animisme dan dinamisme, semuanya benda saja. Ini tidak begitu; dia hanya berwujud kekuatan gaib. Ini juga ada ujungnya, yaitu Tuhan yang tidak bisa didefenisikan itu. Toyo tadi.
Kaum animis pun menganggap barang-barang sembahan itu hanya medium penyembahan saja?!
Tapi dalam animisme dan dinamisme, tidak ada konsep satu Tuhan yang abstrak. Sang Pencipta macam-macam, itu tidak ada. Dari situlah orang melakukan sesaji dengan tumpeng, tukung, tumbu, dan seterusnya. Bahkan untuk upacara tertentu yang bersifat rahasia untuk mewujudkan keinginan yang besar, biasanya ada sesembahan khusus yang bernama tumbal.
Bagaimana Siti Jenar menyikapi sesaji itu?
Dia melihat ujungnya adalah tauhid. Nah, masyarakat di luar Keraton waktu itu adalah pengikut ajaran ini, bukan ajaran Hindu. Agama Hindu itu hanya dianut orang-orang Keraton. Jadi mereka masih ke arah ini (tauhid). Dan masyarakat juga masih dibiarkan membikin tumpeng, sesaji, dan semacamnya.
Jadi dia tidak lakukan konfrontatif. Karena itu, tempat ibadahnya orang-orang Kapitayan yang namanya sanggar, bentuknya diambil-alih kemudian. Tapi namanya bukan lagi sanggar, tapi langgar. Karena itu langgar di Jawa itu berbeda dengan langgar di tempat lain. Yang namanya mihrab itu adalah ruang kosong yang menjorok ke dalam. Itu dulu punya orang Kapitayan. Tempatnya seperti gentong yang masuk ke dalam. Itulah namanya kosong, suwung. Bentuknya sama persis dengan mihrab sekarang.
Kemudian ada juga ibadah Kapitayan yang mirip seperti orang-orang Islam, yaitu tidak makan sehari. Tapi namanya bukan shaum, melainkan pawasa atau puasa. Itu artinya juga tidak makan sehari, dari bahasa Kawi. Kemudian juga cerita soal surga-neraka. Bagi Siti Jenar, tidak usah pakai istilah jannatul firdaus, jannatu adn, dan sebagainya. Masyarakat tidak mengerti. Maka dipakailah kata suwarga dan neraka yang orang-orang sudah mengerti. Kosa kata itu sudah digunakan sejak lama. Termasuk ketika menyebut penghuni surga. Tidak usah pakai hûrin `în segala. Orang tidak akan tahu. Pakai saja istilah bidadari.
Ajaran apa dari Siti Jenar yang dianggap mengkhawatirkan kekuasaan?
Ketika dia mengubah konsep kawulo menjadi masyarakat. Terutama ajaran tentang manunggaling kawulo gusti. Artinya, kesetaraan antara rakyat dengan penguasa. Masyarakat itu berarti orang yang punya hak sama, dari kata musyârakah (Arab: berpartisipasi dan bekerjasama). Pengikut-pengikutnya tak dibolehkan memakai kata kulo atau kawulo, tapi pakai kata ingsun. Makanya, orang Cirebon sampai sekarang menyebut aku, ya ingsun. Itu membuat marah raja. Dalam tatanan sosial-budaya saat itu, kata ingsun hanya berhak digunakan raja. Kok banyak orang desa menyebut dirinya ingsun?! Ini dianggap merusak tatanan.
Juga ajarannya bahwa pemimpin harus dipilih. Karena itu, demokrasi pertama itu ada pada ajaran Syekh Siti Jenar. Dia yang memelopori kepemimpinan ki ageng. Kota Cirebon saat itu disebut garade (negara gede). Sebab, saat itu yang berkuasa orang-orang gede. Negaranya para orang gede. Maksudnya bukan negara yang besar. Tapi negaranya orang-orang besar.
Sekarang kita menerima kata masyarakat secara taken for granted. Kita tak tahu konsepsi apa di balik kata itu. Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.
Apakah ajaran Siti Jenar atau tarekatnya sekarang mungkin berkembang?
Mungkin saja. Tapi ajarannya itu sebenarnya tertutup. Ada beberapa pejabat aneh yang saya curigai menganut ajaran ini. Setelah saya dekati dan ajak ngobrol, ternyata benar. Masak pejabat tidak mau terima suap, tidak korupsi, dan sebagainya?! Ini kan aneh. Mengidentifikasi mereka itu gampang.
Mereka biasanya aneh dan tak mau ikut orang kebanyakan. Ada pejabat yang dalam kondisi sekarang kok jujur, tidak korupsi, tidak dekat-dekat wartawan. Pokoknya tak mau ikut kebiasaan para pejabat umumnya. Setelah saya dekati, biasanya dia mengaku pengikut Siti Jenar. Ada seorang pejabat yang tiap kali gajian justru membeli sembako untuk para tetangganya yang miskin. Padahal, hidupnya biasa-biasa saja. Ternyata, orang itu mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Pokoknya, orangnya aneh-aneh.
Jadi jauh dari kesan negatif yang dicitrakan selama ini, dong?!
Ya. Soalnya, babad-babad yang ditulis tentang Siti Jenar itu adalah tulisan orang Keraton semua. Mereka merasa sebagai pihak yang dirugikan oleh Siti Jenar. Karena itu, sikap orang Keraton Mataram sangat ambigu terhadap Siti Jenar. Di satu sisi mereka memitoskan hal-hal yang baik dari Siti Jenar, di sisi lain merasa dia membahayakan kedudukan raja. Dalam ajaran Siti Jenar tidak boleh ada kedinastian.
Aspek lain yang dianggap mengancam adalah soal pemimpin yang harus dipilih. Dulu tidak begitu. Pemimpin seperti jabatan dari Tuhan. Selain itu juga ajaran untuk menahan pajak sebagai penentangan terhadap pemimpin. Bagi Siti Jenar, kalau anda tak suka kekuasaan, ya apa yang mendukung kekuasaan itu dipotong saja. Jadi, perlawanannya taktis. Kalau diperintah sesuatu, bilang ”ya” saja, tapi jangan dilakoni. Makanya, para penguasa jengkel. Bagi pemerintah saat itu, apa yang dikatakan itu serius sekali. Siti Jenar dianggap provokator yang membangkitkan kesadaran orang atas hak-haknya. []